Rabu, 16 Desember 2015

KITAB LOKAPALA

Setelah Resi Wisrawa palastra di ujung pusaka Prabu Danaraja, perang pun usai. Negeri Alengka kini menyerahkan hak politik, nasib serta rakyatnya di bawah panji Lokapala. Namun, meskipun begitu Prabu Danaraja memberi kebijakan atas hak Alengka. Bagaimanapun secara lahiriah Prabu Danaraja mengakui keberadaan para putra yang telah dilahirkan oleh dewi Sukesi dari benih ayahnya. Mereka adalah saudara satu darah yang berarti adalah adik-adiknya sendiri. Danaraja pun berpikir tidak ada alasan untuk menghukum mereka, sebab mereka tidak pernah tahu dosa apa yang telah diperbuat oleh orang tua mereka. Maka dari itu, untuk sementara waktu Prabu Danaraja mengangkat Prahasta sebagai dewan menteri yang mengatur pemerintahan hingga batas waktu yang telah ditetapkan, yaitu kelak setelah para putra Sukesi dan Wisrawa beranjak dewasa, maka pemerintahan negeri Alengka diserahkan kepada putra tertua mereka.
Dalam perjalanan waktu, Prahasta dengan kasih sayang memelihara dan mengasuh para putra Alengka, keponakan-keponakannya yang sangat ia sayangi sebagaimana ia menyayangi kakaknya sendiri, dewi Sukesi.
Walau rupa Prahasta seorang raksasa, tetapi Prahasta memiliki kepribadian dan hati nurani yang baik. Ia tidak memiliki sifat dengki dan haus akan kekuasaan. Prahasta seorang yang bijaksana, sama seperti ayahnya, Prabu Sumali yang kini telah menjalani hidup sebagai seorang pertapa, mengasingkan diri dari sifat-sifat keduniawian.
Waktu-waktu berikutnya adalah ekspansi militer Lokapala terhadap negara-negara di belahan Hindustan lainnya seperti negara Sinhala, Pandya, Malawa, Kerala, Chola, Sahya, Malyawat, Drawida, Kalingga, Kosala, Kekeya dan masih banyak lainnya. Banyaknya negara-negara yang bertekuk lutut dibawah panji Lokapala menjadikan nama Danaraja semakin terkenal sebagai jaman keemasan Lokapala. Sayangnya Prabu Danaraja ini memang sangat menggilai kemewahan dan kebendaan. Ia menobatkan dirinya sebagai Batara Lokapala (Batara = kedudukannya sejajar dengan para dewa, Loka= Penguasa, Pala=Kemewahan/Kebendaan yang menyangkut kenikmatan duniawi). Jadi, Batara Lokapala mengandung arti sebagai Penguasa Kebendaan.
Suatu ketika Prabu Danaraja berkeinginan menyunting dewi Danuwati (dewi Hagnyawati), permaisuri Prabu Kertawirya di negara Maespati. Dan sangat kebetulan negara Maespati belum termasuk negeri jajahan Lokapala, jadi ada alasan bagi Danaraja untuk melakukan penyerangan terhadap Prabu Kertawirya bila raja Maespati itu menentang keinginannya.
Prabu Danaraja mengirim Gohmuka sebagai duta ke Maespasti. Gohmuka adalah salah seorang punggawa Lokapala berwujud raksasa yang telah dipercaya oleh Prabu Danaraja dalam menjalankan setiap tugasnya, menyerang dan menaklukan negara-negara yang kini menjadi bawahan dan sekutu Lokapala. Berbekal beberapa ratus prajurit Gohmuka berangkat ke Maespati.
Beberapa hari itu Prabu Kertawirya terlihat sangat gembira, karena hari-hari itu adalah hari penantian. Penantian terlahirnya seorang putra mahkota yang akan terlahir dari rahim seorang dewi yang sangat ia cintai, dewi Danuwati.
Sebagai seorang raja besar tentu Kertawirya sangat mendambakan seorang putra mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukannya dikemudian hari untuk melanjutkan cita-cita para leluhurnya.
Namun kegembiraan Kertawirya mendadak pudar ketika istananya kedatangan seorang duta dari negara yang sangat dikenal di antero tanah Hindi, duta dari negeri Lokapala.
Tanpa tedeng eling (basa-basi) Gohmuka menyampaikan maksud kedatangannya ke Maespati. Atas nama Batara Lokapala, secara suka ataupun terpaksa ia akan memboyong dewi Danuwati ke Lokapala untuk dipersembahkan kepada rajanya, sebab Prabu Danaraja menginginkan sang dewi untuk dijadikan permaisuri.
Seperti mendengar petir disiang hari, Prabu Kertawirya sangat terkejut mendengar maksud dan tujuan Gohmuka. Apalagi ancaman Gohmuka terhadap dirinya, bahwa Maespati akan dijadikan lautan api apabila Prabu Kertawirya menolak keinginan Prabu Lokapala. Murkalah Prabu Kertawirya. Sudah pasti ia memilih mengangkat senjata daripada menyerahkan kehormatan dan harga dirinya begitu saja kepada orang lain.
Sebelum rajanya bertindak, dengan cepat patih Maespati, Mahapatih Gumiyat segera menyeret Gohmuka ke alun-alun istana. Terjadi pertempuran antara Gohmuka dengan Mahapatih Gumiyat. Hanya disertai beberapa ratus prajurit, Gohmuka mengadakan perlawanan. Ia menerjang ke palagan yuda menghadapi kekuatan Maespati.
Walau Gohmuka punggawa yang cukup terampil di medan perang, namun untuk menandingi Mahapatih Gumiyat dengan kekuatan prajuritnya, Gohmuka bukanlah apa-apa. Berkali-kali Gohmuka harus jatuh tersungkur ditimpa pukulan-pukulan sakti lawannya. Tidak ada perlawanan yang berarti dari punggawa Lokapala. Akhirnya, bersama dengan beberapa prajuritnya yang masih tersisa ia memutuskan untuk melarikan diri meninggalkan Maespati, kembali pulang ke negaranya untuk melaporkan peristiwa tersebut kepada Prabu Danaraja.
Sebagai seorang batara yang diakui oleh raja-raja bawahannya, keinginan Prabu Danaraja pantang ditolak. Setelah mendengar laporan Gohmuka, Danaraja segera memerintahkan Mahapatih Wisnungkara untuk menyiapkan seluruh pasukan Lokapa. Maespati harus dijadikan lautan api.
Beberapa negara yang menjadi sekutunya ikut serta dalam penyerangan tersebut. Mereka bersatu di bawah bendera Lokapala, menyatukan seluruh bala tentara dan kekuatannya untuk membumi hanguskan Maespati. Puluhan ribu prajurit bersenjata Klewang, golok, pedang, tumbak, gondewa dan sebagainya melangkah berbaris berarak-arakan menuju negara Maespati.
Sementara di Maespati, Prabu Kertawirya telah sadar akan datangnya bahaya maka ia telah bersiap-siap menyongsong datangnya musuh. Bersama Mahapatih Gumiyat, Prabu Kertawirya menyiapkan seluruh kekuatan Maespati. Sebenarnya ia mengakui kekuatan balatentara Lokapala yang cukup besar. Negara besar yang dipimpin oleh raja muda sakti mandraguna putra seorang resi sakti yang banyak mendapat gemblengan ilmu olah keprajuritan, belum lagi dukungan dari negara-negara mancanegara yang telah menjadi sekutunya, tentu sangat sulit bagi Maespati untuk dapat memenangkan peperangan. Akan tetapi Prabu Kertawirya sudah bertekad mempertahankan kehormatan dan harga dirinya sebagai seorang raja. Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup terjajah.
Untuk menghadapi kekuatan besar Lokapala, Prabu Kertawirya meminta bantuan seorang resi sakti bernama Swandageni (Swandagni) dari pertapaan Ardisekar (Jatisarana). Resi Swandageni masih saudara dengan Prabu Kertawirya dari garis keturunan kakeknya, Resi Dewasana.
Pasukan Lokapala telah bergerak di tapal batas. Kedatangan mereka segera disambut dengan kekuatan angkatan perang Maespati yang dipimpin langsung oleh Prabu Kertawirya dengan didampingi Resi Swandageni dan Mahapatih Gumiyat (Begawan Kayat) adik Prabu Kertawirya.
Dua pasukan telah sama-sama mengusung senjata, perang pun beradu di medan yuda. Mereka saling serang, saling terjang, saling hantam, saling menusuk, sama-sama saling menghabisi nyawa lawannya.
Pasukan Lokapala memang telah teruji dalam setiap pertempuran, mereka telah ditempa dengan berbagai pengalaman perang. Terlebih lagi kekuatan Lokapala telah berlipat ganda karena didukung oleh sekutu-sekutunya yang selalu siap membantu.
Dilain pihak, kesaktian resi Swandageni telah memberi semangat tempur prajurit-prajurit Maespati. Putra resi Wisanggeni ini mampu menciptakan pasukan menjadi beberapa kali lipat kekuatan Maespati hingga pertempuran pasukan keduanya menjadi berimbang.
Mahapatih Wisnuwungkur, begawan raksasa sakti yang memiliki berbagai macam ilmu hitam dengan sangat licik ia menyipta binatang-binatang berbisa yang mematikan. Banyak prajurit Maespati berguguran ditangan ilmu hitam begawan Wisnuwungkur membuat resi Swandageni harus menghadapinya.
Sementara Prabu Kertawirya berhadapan langsung dengan Prabu Danaraja. Mahapatih Gumiyat menghadapi terjangan Gohmuka dan raja-raja sekutu Lokapala.
Prabu Kertawirya telah membuktikan sendiri kesaktian raja muda dari Lokapa itu. Ia memang sakti mandraguna, bahkan tidak bisa mati dengan berbagai macam senjata apapun yang digunakan Kertawirya untuk melawannya. Beberapa kali senjata raja Maespati itu melukainya, beberapa kali itu pula raja Lokapala sembuh seperti sedia kala. Bahkan ketika pusakanya berkali-kali memenggal kepala Danaraja, beberapa kali pula raja Lokapala itu bangkit dari kematiannya. Danaraja seperti memiliki ribuan nyawa, Danaraja tidak bisa mati
Mahapatih Gumiyat yang telah berhasil membunuh Gohmuka, melihat Prabu Kertawirya sedang dalam kesulitan menghadapi Danaraja yang telah mengeluarkan kesaktiannya hingga membuat Prabu Kertawirya berkali-kali harus terpelanting jatuh, maka Mahapatih Gumiyat segera mengejar dan membantu Prabu Kertawirya.
Pada saat bersamaan, ketika Mahapatih Gumiyat menyerang Prabu Danaraja, seorang prajurit Maespati memberi kabar kepada Prabu Kertawirya bahwa dewi Danuwati telah melahirkan seorang putra. Prabu Kertawirya sangat gembira. Kalaupun ia nanti harus menanggung kekalahan dalam peperangan melawan Lokapala, tetapi tidak akan menyesal setelah melihat putra yang sangat dinantikannya. Begitu yang terpikir oleh Prabu Kertawirya, ia segera pergi meninggalkan medan perang untuk melihat putranya, sementara Prabu Danaraja sedang mengadu kesaktian dengan Mahapatih Gumiyat.
Di istana Maespati prabu Kertawirya menemui permaisurinya. Di samping istrinya kini telah tergolek bayi tampan rupawan. Dengan penuh bangga dan kasih sayang Prabu Kertawirya menimang putranya. Ia lalu memberinya nama Arjunawijaya (Arjunasasrabahu), pada saat itulah muncul Batara Narada. Batara Narada memberi tahu Kertawirya bahwa putranya adalah jelmaan Wisnu yang akan menghancurkan segala keangkara murkaan di mayapada. Batara Narada lalu memberi sebuah pusaka bernama Cakra. Pusaka tersebut menurut Batara Narada adalah pusaka Wisnu yang akan mendampingi putranya dalam menumpas segala bentuk kejahatan. Prabu Kertawirya sangat gembira mendengar penuturan Batara Narada. Ia segera kembali menuju medan perang sambil membawa pusaka Cakra.
Prabu Kertawirya meminjamkan Cakra kepada Resi Swandageni. Dengan pusaka Cakra ditangan resi Swandageni, bala tentara Lokapala tercerai berai. Pusaka Cakra berkelebatan, gigi-gigi tajamnya membunuhi prajurit-prajurit Lokapala. Begawan Wisnuwungkur sendiri hancur lebur tubuhnya terkena pusaka Cakra. Raja-raja sekutu Lokapala berguguran terpenggal pusaka sakti itu.
Prabu Danaraja terkejut melihat pusaka Cakra dalam genggaman Resi Swandageni. Ia sangat maklum dengan pusaka sakti yang telah menggetarkan mayapada. Bukan hanya ditakuti oleh para raja-raja, kesatria ataupun brahmana, tetapi juga disegani oleh para dewa. Danaraja meragukan kesaktiannya menandingi pusaka Cakra, tetapi ia bertekad untuk berhadapan dengan pusaka sakti itu walau dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan sebagian pasukannya telah hancur binasa oleh resi Swandageni dengan menggunakan pusaka Cakra ditangannya.
Setelah berhasil mengalahkan Mahapatih Gumiyat, dan pada saat-saat Danaraja ingin membunuhnya, tiba-tiba datang Batara Narada melerai menghalangi Danaraja. Batara Narada mengingatkan, bahwa telah banyak korban dari kedua belah pihak, terlebih dari pihak Lokapala. Raja-raja sekutu dan orang-orang kepercayaan Lokapala kini telah binasa. Itulah hasil dari peperangan yang ditimbulkan oleh nafsu angkara yang tidak bisa dikendalikan.
Batara Narada menyadarkan dan menasehati Danaraja, menyuruhnya kembali menjalani hidup yang lurus. Tidak ada manfaatnya gemar memamerkan kekuasaan dan kekuatan karena itu hanya akan menyengsarakan banyak pihak. Batara Narada menyarankan agar Prabu Danaraja menjalani penyucian diri, menebus segala dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya selama ini, sebab bagaimanapun ia adalah keturunan dari para resi sakti yang telah dijadikan panutan di mayapada.
Prabu Danaraja menuruti nasehat Batara Narada, ia segera menarik pasukannya dari wilayah Maespati kembali pulang ke negaranya. Dan selanjutnya, Prabu Danaraja melakukan tapa brata di tepi sungai gangga.

Terlahir dengan nama Arjunawijaya, putra tunggal Prabu Kartawijaya ini, setelah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai raja negara Maespati dikenal dengan Prabu Harjunasasrabahu. Gelar ini diberikan karena ketika ia bertiwikrama, wujudnya berubah menjadi brahala sewu – raksasa sebesar bukit, berkepala, seratus, bertangan seribu yang keseluruh tangannya memegang berbagai macam senjata sakti.
Tiwikrama menjadi brahala-sewu dilakukan oleh Prabu Arjuna Wijaya tatkala berperang melawan Bambang Sumantri, duta kepercayaannya dalam meminang putri
Magada. Dewi Citrawati. Bambang Sumantri yang dengan kesaktiannya telah berhasil mengalahkan lebih dan seribu raja dari berbagai negara yang ingin memperebutkan Dewi Citrawati, hanya bersedia menyerahkan Dewi Citrawati apabila Prabu Arjuna Wijaya berhasil mengalahkan dirinya. Ini sesuai dengan tekad Bambang Sumantri sejak meninggalkan pertapaan Ardisekar, di mana ia hanya akan mengabdi pada raja yang akan mengalahkan kesaktiannya.Arjuna Wijaya adalah satria titisan Bhatara Wisnu. merupakan raja besar yang disembah oleh sesama raja. Ia sakti mandraguna dan pilih tanding. Meskipun demikian, ia termasuk raja yang cinta damai, selalu berusaha menyelesaikan setiap persengketaan dengan musyawarah. Karena itulah wibawanya memancar keseluruh negeri dan negara-negara taklukannya. Selain gagah
perkasa, Prabu Arjuna Wijaya merupakan satria yang sangat tampan. Sepintas lalu, wajahnya mirip Bhatara Kamajaya . Cahaya yang keluar dart mukanya mengalahkan cahaya bintang, bahkan kadang-kadang seperti cahaya matahari di pagi atau senja hari. Merah merona penuh pencaran keemasan.

Ketika ia mendapat wangsit dari Bhatara Narada, kalau Dewi Citrawati, putri negeri Magada yang kini dalam pinangan raja raja lebih dari seribu negara merupakan titisan Bhatari Sri Widowati, hatinya menjadi gelisah. Mungkinkah, untuk mendapatkan Dewi Citrawati dan menyelamatkan negara Magada, ia harus berperang dan menumpas sekian banyak raja serta membunuh ribuan prajurit tak berdosa ?.
Seorang diri ia mampu melakukan hal itu. Tetapi tindakan itu bertentangan dengan hati nuraninya yang cinta damai Sementara menempuh perdamaian di negara Magada suatu hal yang sulit dilaksanakan, karena lebih dari seribu raja dari berbagai negara juga sangat menginginkan Dewi Citrawati sebagai istrinya.Dari sekian banyak raja yang menginginkan Dewi Citrawati, Prabu Darmawisesa dari negeri Widarba, merupakan raja yang sangat berpengaruh dan ditakuti. Kini bersama lebih dari tujuh puluh lima raja sekutunya lengkap dengan ribuan prajuritnya, telah mengepung negara Magada dari berbagai penjuru. Tujuannya jelas. Bila lamarannya terhadap Dewi Citrawati ditolak, Prabu Darmawisesa akan merebutnya dengan kekerasan.Tatkala Prabu Arjuna Wijaya dalam kebimbangan untuk menentukan sikap, datanglah Bambang Sumantri menghadap untuk mengabdikan diri di negara Maespati. Melihat kesungguhan hati dan kemantapan tekad Sumantri. Prabu Arjuna Wijaya menerima pengabdian Sumantri dengan satu persyaratan, Sumantri harus berhasil menjadi utusan pribadinya dan duta resmi Negara Maespati melamar dan memboyong Dewi Citrawati ke negara Maespati.Persyaratan tersebut diterima oleh Bambang Sumantri. Dengan kesaktiannya. Sumantri akhirnya dapat menaklukan Prabu Darmawisesa dan sekalian para raja lainnya. memenuhi persyaratan pernikahan Dewi Citrawati berupa Putri Domas (800 orang), dan memboyong Dewi Citrawati dan Magada ke Maespati.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/arjunasasrabahu2.jpg?w=535&h=378
Namun sebelum memasuki kota negara Maespati, Bambang Sumantri mengajukan persyaratan kepada Prabu Arjuna Wijaya agar menjemput sendiri Dewi Citrawati di perbatasan kota dengan cara seorang satria, berhasil mengalahkan Sumantri dalam satu peperangan.“Mohon Sri Paduka jangan salah mengerti akan sikap hamba, menduga yang tidak-tidak, terutama mengenai diri dan itikad hamba. Sedikitpun tak terbersit di hati hamba suatu niat atau keinginan untuk memperistri Tuan Puteri Dewi Citrawati, karena hamba sudah berprasetya sejak dulu untuk hidup sebagai satria pinandhita tidak akan menikah seumur hidupnya. Karena
itulah hamba tidak rela menyerahkan putri ulama seperti Dewi Citrawati secara begitu saja kepada Paduka, layaknya seorang raja taklukkan menyerahkan seorang putri sebagai upeti. hamba ingin Dewi Citrawati direbut dengan peperangan dasyat seorang raja. Hamba berharap peperangan ini akan meningkatkan pamor dan kewibawaan Paduka, bukan saja kepada Dewi Citrawati dan sekalian para putri yang berjumlah 800 orang, tetapi juga terhadap para raja dari lebih seribu negara yang kini berada di luar kota Maespati. Merekalah yang akan menjadi saksi sejarah keperkasaan dan kebesaran Paduka. Karena itulah hamba berharap perang tanding diantara kita harus berlangsung dahsyat dan hebat.”Demikian isi surat Sumantri kepada Prabu Arjuna Wijaya, yang ditanggapi Prabu Arjuna Wijaya dengan kelapangan dada. Apa yang diinginkan Sumantri menjadi kenyataan. Perang maha dahsyat dan mengerikan terjadi antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Sumantri di lapangan maha luas yang terbentang diantara pegunungan Salva dan Malawa, di luar kota negara Maespati. Para brahmana dan pujangga melukiskan, peperangan antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri merupakan perang maha dahsyat dan maha mengerikan selama alam raya gumelar. Suasana perang ini lebih hebat dan lebih dahsyat daripada perangnya Kumbakarna melawan Prabu Sugriwa yang dibantu Hanoman dan jutaan laskar kera, atau perangnya Prabu Rama Wijaya melawan Prabu Rahwana dalam perang Alengka.Perang itu juga lebih dahsyat dan lebih mencekam dari pada perang tanding antara Arjuna melawan Adipati Karna atau perangnya Resi Bhisma melawan Resi Seta, atau perangnya Bima melawan Prabu Duryudana dalarn perang Bharatayudha, bahkan lebih dahsyat dari keseluruhan perang Bharatayudha itu sendiri.
Perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri juga terasa agung dan indah. Mereka tampil dengan pakaian kebesaran seorang senapati prajurit yang serba sama baik warna maupun bentuknya. Mereka juga menyandang gendewa perang lengkap dengan anak-anak panah saktinya. Bentuknya sama satu dengan lainnya, hanya warna tali selempang gandewa yang berbeda. Selempang gandewa Prabu Arjuna Wijaya berwarna merah, sedangkan selempang gandewa Bambang Sumantri berwarna kuning gading.Mereka juga sama-sama menaiki kereta perang kadewatan yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Prabu Arjuna Wijaya menaiki kereta perang milik Dewa Wisnu yang sengaja didatangkan dari Kahyangan Untarasegara, ditarik empat ekor kuda berbulu hitam dan putih. Sedangkan Bambang Sumantri menaiki kereta perang milik Prabu Citragada, yang ditarik empat ekor kuda berbulu merah dengan belang putih pada keempat kakinya. Kereta ini dahulu merupakan kereta perang kadewatan milik Bhatara Indra yang diberikan kepada Prabu Citradarma, raja negara Magada.Tak ayal lagi, kedua kereta perang itu memiliki bentuk, kemewahan dan keagungan yang hampir sama. Perbedaannya hanya terletak pada pariji perang yang tertancap berkibar di bagian buritan kereta. Panji perang Prabu Arjuna Wijaya berwarna kuning emas dengan lambang burung garuda yang siap menerkam lawan, sedangkan panji perang Bambang Sumantri berwarna putih
dengan lambang ular naga tegak berdiri dengan mulut terbuka dan lidah bercabang menjulur ke luar siap mematuk lawan. Keagungan semakin nampak manakala kedua kereta perang mereka telah saling berhadapan. Mereka tak ubahnya Bhatara Asmara dan Bhatara Candra yang sedang saling berhadapan.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/sumantri-arjunasasrabahu.jpg?w=535&h=450
Kebesaran dan kedahsyatan perang tanding antara Prabu Arjuna Wijaya melawan Bambang Sumantri, selain karena arena peperangan yang demikian luas, jumlah serta mereka yang menyaksikan, juga kehebatan pameran kesaktian dan tata gelar perang yang mereka peragakan. Perang tanding itu berlangsung di sebuah padang tandus yang sangat luas, yang membentang antara pegunungan Salva dan Malawa. Disaksikan oleh Dewi Citrawati, wanita titis Bhatari Sri Widowati beserta 800 wanita pengiringnya (putri domas), ribuan dayang, lebih dari seribu raja dan permaisurinya, lengkap dengan para patihnya dan hulubalang kerajaan, ribuan rakyat Maespati, jutaan prajurit dari lebih seribu negara dan juga disaksikan oleh ratusan dewa dan hapsari dipimpin langsung oleh Bhatara Narada dan Bhatara Indra yang sengaja turun dari Kahyangan Jonggring Saloka dan Kahyangan Ekacakra.Berbagai tata gelar perang juga diperagakan dalam perang tanding ini. Dari tata perkelahian tangan kosong, gelar perang keris, tombak dan trisula, juga tata gelar perang kereta disertai ketrampilan menguasai kuda dan kereta, serta kemahiran memainkan anak panah. Kelak mereka baru menyadari, bahwa apa yang diperagakan oleh Prabu Arjuna Wijaya dan Bambang Sumantri, sesungguhnya merupakan pelajaran tata gelar dan teknik peperangan maha tinggi yang hanya bisa diperagakan oleh Dewa Wisnu dan Dewa Surapati, yang tidak akan terulang lagi selama jagad raya gumelar.Berbagai ilmu kesaktian dan senjata sakti diperagakan dan gumelar dalam perang tanding ini. Ketika senjata sakti panah Dadali milik Sumantri lepas dari busurnya dan begitu melesat di udara pecah menjadi ribuan anak panah dengan pamor berujud bara api menyala merah, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan senjata sakti panah Tritusta. Begitu lepas dari busurnya, panahtersebut pecah menjadi ribuan anak panah yang pamornya memancarkan cahaya keputihan.Ribuan anak panah dari kedua belah pihak itu saling bertempur dahsyat di udara, tak ubahnya orang yang sedang berperang. Saling tangkis, saling menyambar dan saling mengejar serta saling menyerang. Benturan keras kedua senjata itu menimbulkan desis suara yang melengking, memekakkan telinga.Melihat pertempuran ribuan anak panah yang tiada akhir itu, Prabu Arjuna Wijaya segera melepaskan panah angin, yang begitu melesat di udara menimbulkan angin besar yang menyapu habis sernua anak panah tersebut. Menghadapi kenyataan itu, Sumantri segera melepaskan panah Bojanggapasa, yang begitu melesat ke udara memecah menjadi jutaan ular naga yang memenuhi arena pertempuran. Untuk mengetahui keampuhan pusaka lawan, Prabu Arjuna Wijaya segera melepas panah sakti Paksijaladra. Seketika di udara muncul jutaan burung garuda, terbang menukik menyambar ular-ular naga ciptaan Sumantri.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/arjunawijaya_solo.jpg?w=535
Akhir dari perang tanding tersebut, memberi pengaruh sangat besar bagi Prabu Arjunasasrabahu. Kini yakinlah semua orang, bahwa ia seorang raja penjelmaan Dewa Wisnu. la dikenal sebagai raja maha sakti dan kewibawaannya memancar ke seantero jagad raya. Para raja yang sejak semula sudah tunduk dan bersekutu dengan kerajaan Maespati, kini semakin menghormatinya.Sementara para raja yang dahulunya ragu untuk tunduk dan bersatu, kini dengan sukarela menyatakan bernaung dibawah panji kebesaran negara Maespati.Di bawah pemerintahan Prabu Arjunasasrabahu dengan patihnya Suwanda, Maespati berkembang menjadi negara adikuasa yang rnenguasai hampir dua-pertiga jagad raya Meski demikian, Prabu Arjunawijaya tetap memerintah dengan sikap yang adil dan arif bijaksana. Prabu Arjunasasrabahu dikenal sebagai raja yang cinta damai dan selalu berusaha menyelesaikan perselisihan dengan negara tetangga secara musyawarah. Dialah raja yang melaksanakan prinsip dan semboyan perdamaian ; Sugih tanpo bondo, ngruruk tanpo bolo, Menang tanpo angasorake. (kaya tanpa harta benda, menyerang tanpa prajurit, menang tanpa merasa mengalahkan).Prabu Arjunasasrabahu adalah Maharaja terbesar yang pernah ada di jagad raya. la tidak hanya memerintah hampir duapertiga luas jagad raya dan membawahi lebih dari dua ribu raja dari berbagai negara, tetapi ia juga seorang raja yang hidup dengan seorang permaisuri, Dewi Citrawati, dan lebih dari 800 orang selir. Karena itu tak mengherankan apabila sebagian besar penghuni istana Maespati adalah wanita-wanita cantik, sehingga keadaan taman keputrian istana Maespati tak ubahnya kahyangan Ekacakra, tempat para bidadari.Prabu Arjunasasrabahu adalah raja yang sangat mencintai dan memanjakan istri-istrinya, terutama permaisuri Dewi Citrawati. Apa saja yang menjadi keinginan Dewi Citrawati selalu berusaha untuk dipenuhinya.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/03/c13-citrawati_solo.jpg?w=535
Suatu ketika Dewi Citrawati menyampaikan satu keinginan yang rasanya mustahil dapat terpenuhi oleh manusia lumrah di Marcapada. Bahkan Dewapun belum tentu kuasa untuk memenuhi keinginannya tersebut. Dewi Citrawati ingin mandi bersama 800 orang selirnya di sebuah sungai atau danau. Keinginan yang aneh inipun berusaha di penuhi oleh Prabu Arjunasasrabahu.
Dengan disertai Patih Suwanda, dan dikawal beberapa ratus orang prajurit, Prabu Arjunasasrabahu membawa Dewi Citrawati dan 800 orang selirnya lengkap dengan para dayangnya masing-masing meninggalkan istana Maespati pergi kesebuah dataran rendah antara pegunungan Salva dan Malawa, dimana ditengahnya mengalir sebuah sungai.“Dinda Patih Suwanda, aku akan bertiwikrama tidur melintang membendung aliran sungai agar tercipta danau buatan untuk tempat mandi dan bercengkrama dinda Dewi Citrawati dan para selir. Selama aku tidur bertiwikrama, keselamatan dinda Citrawati dan para garwa ampil, sepenuhnya aku serahkan pada dinda Patih Suwanda.” kata Prabu Arjunasasrabahu kepada patih Suwanda.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/brahala1.jpg?w=535
Prabu Arjunasasrabahu kemudian bertiwikrama, tidur melintang membendung aliran sungai. Dengan tubuh sebesar bukit dengan panjang hampir mencapai 500 meter, dalam waktu tidak terlalu lama, lembah antara pegunungan Salva dan Malawa berubah menjadi sebuah danau buatan yang sangat luas. Dengan suka cita Dewi Citrawati terjun kedalam air, diikuti oleh para selir dan para dayang. Mereka berenang kesana-kemari, bercanda, bersuka cita penuh kegembiraan dan gelak tawa. Hampir semua prajurit yang menyaksikan hal itu, menelan air hur dan tubuh prungsang menahan hawa nafsu menyaksikan seribu lebih wanita cantik bertubuh seksi dalam keadaan polos tumplek uyel (menyatu saling bergerak tak karuan) di dalam air yang jernih, dengan berbagai tingkah polah yang lucu-lucu dan aneh-aneh. Hanya Patih Suwanda yang bersikap tenang dan dapat mengendalikan dirinya.Luapan air sungai yang terbendung semakin lama semakin meninggi, meluas melebar menggenangi perbukitan dan daerah sekitarnya. Mengalir deras ke daratan yang lebih rendah, laksana air bah melanda persawahan dan perbukitan. Kejadian ini sama sekali tak disadari oleh Prabu Arjunasasrabahu, karena ia dalam keadaan tidur berTiwikrama.
Sementara itu diantara kedua betis raksasa jelmaan Prabu Arjunasasrabahu muncul daerah kering. Di tempat itulah dibuat pesanggrahan mewah semacam istana sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati dan para selir berikut dayang-dayangnya. Adapun Patih Suwanda, beberapa para raja dan prajurit Maespati membuat pesanggrahan di luar betis yang melintang itu. Banyak sekali ikan-ikan yang menggelepar di tanah kering atau kubangan sisa-sisa air. Hal mi sangat menggembirakan para putri domas dan para dayang, yang saling berebut menangkap ikan sambil bercanda. Macam-macam ulah para putri domas itu. Ada yang menaruh ikannya pada kain kembennya dengan cara dibungkus, tapi ada pula yang dengan seenaknya diselipkan di lengkang dadanya. Manakala ikan-ikan itu bergerak-gerak, ia akan tertawa geli penuh suka cita.
Tak terduga luapan air bengawan yang berbalik arah ke arah hulu, melanda lembah dan perbukitan, melanda pula daerah perbukitan Janakya di wilayah negara Sakya, dimana Rahwana, raja Alengka beserta para hulubalangnya sedang membangun pesanggrahan. Dalam sekejap, bangunan pesanggrahan Rahwana ludes dilanda air bah. Rahwana dan para hulubalangnya yang bisa
terbang, segera terbang menyelamatkan diri ke puncak gunung, diikuti oleh para raksasa pengikutnya berlari-lari cepat mendaki bukit yang lebih tinggi. Namun banyak pula diantara para raksasa yang tidak sempat menyelamatkan diri, mati hanyut dilanda air bah.
Kejadian tersebut menimbulkan kemarahan Rahwana. la segera menyuruh Detya Kala Marica, abdi kepercayaarmya yang ahli dalam telik sandi untuk melakukan penyelidikan. Dalam waktu singkat Kala Marica telah kembali menghadap Rahwana, melaporkan hasil penyelidikannya. Dilaporkan oleh Detya Kala Marica, bahwa yang menyebabkan meluapnya aliran sungai dan menghancurkan pesanggrahan adalah akibat ulah Prabu Arjunasasrabahu, raja negara Maespati, yang tidur melintang di muara sungai. “Beliau sedang melakukan Tiwikrama. Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar dan setinggi seratus bukit. Itulah mengapa air sungai terbendung dan berbalik arah melanda perbukitan.” kata Kala Marica. “Hemmm.. siapa itu Arjunasasrabahu, paman ?” tanya Rahwana.“… Prabu Arjunasasrabahu adalah raja negara Maespati yang terkenal sakti mandraguna dan pilih tanding. Beliau bertiwikrama membendung aliran sungai untuk menyenangkan permaisurinya dan para putri domas serta selir-selir yang jumlahnya ribuan orang. Para selir Prabu Arjunasasrabahu bukanlah wanita sembarangan, tetapi wanita-wanita cantik putri para raja taklukan yang secara sukarela tunduk pada kekuasaan negara Maespati. Namun dan kesernua para putri itu, yang paling cantik adalah permaisuri Dewi Citrawati. Beliau adalah putri Magada yang pernah menjadi rebutan ribuan raja karena diyakini sebagai penjelmaan Bhatari Sriwidawati.”“Hemmm, sangat kebetulan! Kalau begitu aku akan rebut Dewi Citrawati dari tangan Arjunasasrabahu!” kata Rahwana lantang. la kemudian memerintahkan Aditya Mintragna, Karadusana dan Trimurda untuk menyiapkan pasukan perang, menggempur negara Maespati. Dengan sikap hati-hati Patih Prahasta berusaha menasehati dan mengingatkan Prabu Rahwana akan akibat buruk dari peperangan tersebut. Diingatkan pula oleh Patih Prahasta, akan kesaktian dan keperwiraan Prabu Arjunasasrabahu dan patih Suwanda yang sulit tertandingi oleh lawan siapapun, termasuk Prabu Rahwana sendiri. Namun Rahwana tetap kukuh dengan kamauannya.“Di jagad raya ini tidak ada seorangpun titah yang dapat mengalahkan Rahwana. Inilah janji Dewa Syiwa kepadaku!” kata Rahwana lantang. Peperangan tak dapat dihindarkan dan berlangsung dengan seru antara pasukan Alengka sebagai penyerang dan pasukan Maespati yang berusaha mempertahankan kehormatan dan kedaulatan negaranya. Korbanpun berjatuhan, bergelimpangan. Ribuan raksasa dipihak Alengka dan ribuan prajurit di pihak Maespati. Ketika banyak para senopati perang Alengka mati dalam peperangan dan pasukan terdesak mundur, Rahwana akhirnya maju perang sendiri menghadapi para senopati perang Maespati.Rahwana bertiwikrama , merubah wujud menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan dua puluh yang masing-masing tanganya memegang berbagai jenis senjata. Sepak terjang Rahwana sangat menakutkan. Dalam sekejap ratusan prajurit Maespati menemui ajaInya. Untuk menghadapi amukan dan sepak terjang Rahwana, beberapa raja yang menjadi senopati perang Maespati, seperti Prabu Wisabajra, Prabut Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan Patih Handaka Sumekar, mencoba menghadangnya. Namun bagaimanapun saktinya mereka, mereka bukantah tandingan Rahwana. Para raja itu akhirnya gugur ditangan Rahwana. Menyaksikan hal itu, akhirnya Patih Suwanda maju sendiri memimpin pasukan Maespati. Dengan
tata gelar perang “Garuda Nglayang” pasukan Maespati bergerak cepat, memukul mundur dan memporak porandakan pasukan Alengka. Sepak terjang Patih Suwanda sangat trengginas. Tak satupun para Senopati perang Alengka, baik Tumenggung Mintragna, Karadusana, Trimurda, juga patih Prahasta yang mampu menandingi kesaktian Patih Suwanda. Mereka lari tunggang langgang menyelamatkan diri. Beberapa putra Rahwana antara lain Kuntalamea, Trigarda, Indrayaksa dan Yaksadewa yang nekad berperang mati-matian melawan Patih Suwanda, akhirnya
mati juga di medan perang.Mengetahui beberapa orang putranya tewas dalam peperangan dan tak satupun para senapati perangnya yang dapat menandingi kesaktian dan keperkasaan Patih Suwanda, akhirnya Rahwana maju sendiri ke medan laga. Perang tanding pun berlangsung dengan seru Berkali-kali Patih Suwanda berhasil memenggal putus kepala Rahwana Namun Rahwana selalu dapat hidup kembali dari kematian. Hal ini berkat Ajian Rawarontek, ajaran dan pemberian Prabu Danaraja (Prabu Danapati atau Prabu Bisawarna), raja negara Lokapala yang masih kakak Rahwana satu ayah, sama-sama putra resi Wisrawa.

Merasa kewalahan menghadapi patih Suwanda, Rahwana berTiwikrama . Tubuhnya berubah menjadi raksasa sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan duapuluh. Perubahan wujud ini sama seakali tidak menakutkan Patih Suwanda. Tiwikrama yang dilakukan Rahwana tidaklah sehebat dan semenakutkan Tiwikrama yang dilakukan Prabu Arjunasasrabahu. Dengan cepat Patih Suwanda melepaskan senjata Cakra, yang begitu melesat langsung menebas putus kesepuluh kepala Rahwana. Kesepuluh kepala itu jatuh bergelimpangan di tanah, namun dalam sekejap menyatu kembali pada badannya.Patih Suwanda mulai kehilangan akal dan kesabaran menghadapi kesaktian Rahwana. Sementara itu di Sorgamaya, arwah Sukasrana, adik Patih Suwanda, masih bergentayangan melihat pertempuran tersebut. la, berkesimpulan, inilah saat yang tepat untuk membalas dendam pada kakaknya, dan memenuhi janjinya unluk bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri (Patih Suwanda) pergi ke Sorgaloka. Dengan cepat arwah Sukasrana menyatu hidup dalam taring Rahwana. Perang tanding pun kembali berlangsung antara Patih Suwanda melawan Rahwana. Patih Suwanda telah berketetapan hati hendak mencincang habis kepala Rahwana agar tidak bisa hidup kembali. Karena itu tatkala kepala Rahwana lepas dari lehernya terbabat senjata cakra, Patih Suwanda segera memungut kepala Rahwana. Tak terduga, saat ia memegang rambut kepala Rahwana, tanpa disadari tubuh Rahwana menyatu kembali berkat daya kesaktian Aji Rawarontek.
Begitu kepalanya menggeliat dan membuka mata, berkat pengaruh arwah Sukasrana, tangan Rahwana langsung mengangkat tubuh Patih Suwanda dan menggigit lehernya hingga putus. Saat itu juga Patih Suwanda menernui ajalnya. Arwahnya berdampingan dengan arwah Sukasrana terbang menuju ke sorgaloka. Mengetahui Patih Suwanda gugur dalarn pertempuran, beberapa orang prajurit Maespati lari ke pesanggrahan Prabu Arjunasasrabahu memberitahukan kejadian tersebut. Prabu Arjunasasrabahu yang mendengar laporan tewasnya patih Suwanda oleh Prabu Rahwana, segera bangun dari tidurnya dan mengakhiri Tiwikramanya. la meminta para raja-raja pengikutnya untuk segera mengumpulkan sisa-sisa laskar Maespati yang bercerai berai, dan dia sendiri yang akan memimpin pasukan Maespati menghadapi Rahwana. Di tengah perjalanan, Prabu Arjunasasrabahu diternui olch Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa yang sengaja menghadang langkah Prabu Arjunasasrabahu atas perintah Bhatara Guru.“Cucu Ulun, Arjunasasrabahu. Mengemban perintah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun menghadang lakumu yang akan menggelar perang menghadapi Rahwana. Titah Hyang Jagad Pratingkah, Ulun harus membatalkan perang melawan Rahwana. Berilah kesempatan Rahwana untuk hidup lebih lama. Ulun tahu, Rahwana titah maha sakti yang sepak terjangnya direstui Hyang Siwa dan Durga. Tapi, Rahwana tetap bukan tandinganmu !” kata Bhatara Narada kepada Prabu Arjunasasrabahu.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/narada-batara.jpg?w=535&h=661
“Bukan maksud hamba untuk menentang perintah Hyang Jagad Pratingkah. Pukulun Kanekaputra tahu, Rahwana telah membunuh adik hamba, Patih Suwanda. Karena itu Rahwana harus dihukum kata Prabu Arjunasasrabahu.‘Ulun tahu akan kecintaanmu terhadap Patih Suwanda, dan dendam ulun pada Rahwana. Tapi saat ini Rahwana belum saatnya mati. Takdir dewata, ia memang harus mati melalui tanganmu, tapi bukan pada penitisanmu yang sekarang, melainkan pada penitisanmu yang akan datang.” kata Bhatara Narada.“Hamba berjanji, hamba tidak akan membunuh Rahwana. Hamba hanya akan menghukumnya, memberi pelajaran agar dapat mengkontrol tindak angkara murkanya. Karena itu perkenankanlah hamba melanjutkan perjalanan, menggelar perang menghadapi Rahwana dan laskar Alengka !” kata Prabu Arjunasasrabahu.“Kalau itu yang menjadi tujuan ulun, ulun mengiringi langkahmu. Tapi ingat, Ulun harus menetapi janji untuk tidak membunuh Rahwana !” kata Bhatara Narada setelah merasa gagal membujuk Prabu Arjunasasrabahu untuk membatalkan perang.Perang sampyuh tak bisa dihindarkan lagi antara prajurit Maespati melawan laskar raksasa negara Alengka. Dengan tata gelar perang “Garuda Nglayang” sebagaimana yang diterapkan oleh Patih Suwanda, pasukan Maespati di bawah pimpinan Prabu Arjunasasrabahu berhasil memukul mundur dan memporak porandakan laskar raksasa Alengka. Tak terbilang jumlahnya, mungkin ribuan laskar Alengka mati di medan peperangan. Mengetahui pasukannya lumpuh bercerai berahi, akhirnya Rahwana sendiri yang maju perang menghadapi Prabu Arjunasasrabahu. Nasehat Patih Prahasta agar Rahwana menank mundur sernua pasukan dan menyatakan kalah, ditolak mentah-mentah oleh Rahwana. Rahwana merasa yakin, dengan aji Rawarontek yang dapat menolongnya luput dari kematian, ia akan dapat mengalahkan dan membunuh Prabu Arjunasasrabahu, sebagai mana ia mengalahkan dan membunuh Patih Suwanda.
Rahwana mengamuk, membabi-buta. Setlap sabetan pedangnya selalu memakan korban nyawa prajurit Maespati. la terus mendesak maju berusaha mendekati kereta Prabu Arjunasasrabahu. Hati Rahwana tercekat kagum manakala ia melihat, betapa agungnya Prabu Arjunasasrabahu berdiri gagah di atas kereta perangnya. Cahaya semacam pelangi melingkari tubuh Raja Maespati itu, yang menandakan ia raja kekasih dewata, penitisan Bhatara Wisnu.Rahwana ingin menunjukkan kesaktiannya. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan senajuta Branaspati yang begitu melesat di udara dari pamornya langsung menyemburkan gumpalan-gumpalan api sebesat gelugu (batang kelapa/nyiur) dan sangat panas tiada terkira, membakar hangus prajurit Maespati.Melihat hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertidak cepat. Sambil membaca mantera sakti, ia melepaskan seniata Bayusayuta, yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur angin besar dan kencang yang mengandung hawa dingin. Dengan suara mendesis, angin itu mematikan dan meniup habis gumpalan-gumpalan api Rahwana.Merasa kalah sakti dalam olah senjata, Rahwana kemudian bertriwikrama. Tubuhnya menjadi sebesar bukit, berkepala sepuluh dan bertangan seratus yang masing-masing tangannya memegang berbagai macam senjata tajam. Rahwana terbang hendak menerkam dan membinasakan lawannya. Menghadapi serangan Rahwana yang demikian ganas dan mengerikan, PrabuArjunasasrabahu segera melepaskan panah Trisula, yang begitu melesat di udara pecah menjadi ratusan anak panah, yang dengan cepat memangkas putus kesepuluh kepala Rahwana, keseratus tangan dan kakinya. Potongan-potongan kepala , tangan, kaki dan gembung Rahwana jatuh berserakan di atas tanah. Namun berkat daya kesaktian Aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh itu secepatnya bergerak menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.
Masih dalam keadaan bertriwikrama, Rahwana terbang ke udara, sambil berlindung di balik gumpalan mega, ia mengeluarkan kesaktiannya. Dari keseluruh anggota tubuhnya, termasuk lubang hidung dan telinga – (dalam keadaan triwikrama, tangan Rahwana berjumlah seratus dan berkepala sepuluh) – keluar ribuan macam senjata seperti gada, limpung, pedang, tombak dan anak pariah, yang meluncur cepat menyerang prajurit Maespati. Bersarnaan itu pula, Rahwana mengeluarkan ajian “Gunturgeni’, dimana ketika ia berteriak dari mulutnya keluar ribuan kilat menyambar dengan daya hangus yang luar biasa.Menyaksikan hal itu, Prabu Arjunasasrabahu tetap tenang. la segera melepaskan senjata Trisula, yang begitu melesat di udara memecah menjadi ratusan naga sebesar bukit yang langsung menelan habis semua senjata ciptaan Rahwana. Bersarnaan dengan itu pula, Prabu Arjunasasrabahu melepaskan senjata Candrasa yang melesat tepat menghantam hancur tubuh Rahwana. Dalam keadaan berkeping-keping serpihan Rahwana jatuh ke tanah. Peristiwa pun terulang kembali. Berkat daya kesaktian aji Rawarontek, begitu menyentuh tanah potongan-potongan tubuh Rahwana bergerak saling menyatu, dan Rahwana pun hidup kembali.Menghadapi kejadian yanh terus berulang, hilang kesabaran Prabu Arjunasasrabahu. la segera bertriwikrama. Dalam sekejap tubuhnya berubah meniadi brahalasewu- Raksasa hampir sebesar gunung, berkepala seratus dan bertangan seribu, di mana masing-masing tangannya memegang berbagai jenis senjata. Melihat tubuh raksasa yang demikian besar dengan bentuk yang sangat menakutkan, Rahwana mengigil ketakutan. Cepat ia terbang melarikan diri dan berlindung di balik gumpalan awan, sambil berterjak minta tolong.
Teriakan Rahwana yang dilambari ajian Guntur sewu itu terdengar oleh Bhatari Durga yang bertahta di Kahyangan Setragandamayit. Bhatari Durga segera keluar dari istananya dan secepat kilat menuju ke arah Rahwana. Begitu mengetahui Rahwana dalam kesulitan menghadapi raksasa penjelmaan Prabu Arjunasasrabahu, Bhatari Durga segera menciptakan awan hitam untuk melindungi tubuh Rahwana. Hal ini ia lakukan karena ia merasa bertanggung jawab menjaga keselamatan Rahwana, yang secara tidak langsung adalah putranya sendiri dengan Bhatara Syiwa (=Bhatara Guru). Prabu Arjunasasrabahu yang mengetahui ulah Bhatari Durga melindungi Rahwana segera melepaskan pariah “Prahara” yang begitu melesat di udara dari pamornya menyembur badai awan panas. Awan hitam seketika tersibak hilang. berubah menjadi rintikan hujan. Dalam suasana alam yang terang benderang nampak dengan jelas tubuh Bhatari Durga yang berada di sebelah Rahwana.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/arjunasasrabahu-rahwana.jpg?w=535&h=459
Prabu Arjunasasrabahu siap melepaskan panah Trisula, Namun sebelum panah Trisula dilepaskan, Bhatari Durga yang mengetahui daya keampuhan pusaka itu, secepat kilat lari kembali ke Setragandamayit sambil berteriak minta ampun. Prabu Arjunasasrabahu yang tidak mau kehilangan sasaran, mengarahkan pariah Trisula ke tubuh Rahwana. Begitu terkena hantaman pusaka
tersebut, tubuh Rahwana hancur menjadi beberapa bagian, berterbangan di udara dan akhirnya jatuh berserakan di tanah.Aji Rawarontek kembali menolong Rahwana dari kematian. Namun saat tubuhnya menyatu kembali, Prabu Arjunasasrabahu segera bertindak cepat, menangkap tubuh Rahwana. Bersamaan dengan itu, Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa datang menegur Prabu Arjunasasrabahu.“Cucu Ulun, Prabu Arjunasasrabahu. Hentikan triwikramamu. Bukankah Ulun telah berjanji tidak akan membunuh Rahwana,” kata Bhatara Narada. Mendapat teguran Bhatara Narada, Prabu Arjunasasrabahu menyudahi triwikramanya, kembali kewujud aslinya. “Hamba tidak akan membunuh Rahwana, tetapi hamba punya kewajiban untuk menyiksa dan menghajarnya sebagai
pelajaran tata kesusilaan bagi aditya ambek angkara murka ini!” jawab Prabu Arjunasasrabahu.“Syukurlah kalau ulun tetap memenuhi apa yang telah ulun janjikan kepada dewata!” kata Bhatara Narada yang segera meninggalkan Prabu Arjunasasrabahu diikuti kemudian oleh Bhatara Mahadewa.Sepeninggal Bhatara Narada dan Bhatara Mahadewa, Prabu Arjunasasrabahu segera mengikat tubuh Rahwana dengan rantai. Kemudian, tubuh yang sudah tak berdaya itu diikat pada belakang kereta perang Prabu Arjunasasrabahu dan ditarik mengelilingi alun-alun negeri Maespati sampai beberapa kali putaran, baru ditarik menyusuri jalan-jalan di kota negara Maespati.

Berkat daya kesaktian ajian Rawarontek, Rahwana memang tidak bisa mati. Tapi !a bisa mengalami penderitaan, dan penderitaan yang tengah ia alami sekarang ini merupakan penderitaan yang maha berat yang arus ia alami baik secara lahir dan batin. Dalam keadaan terseret, tubuh Rahwana bukan saja harus berbenturan dengan batu lubang jalanan dan roda kereta, tetapi ia juga harus menanggung penghinaan yang luar biasa besarnya, dimana dalam keadaan sebagai pecundang dan pesakitan, tubuhnya yang terseret kereta itu harus menjadi tontonan ribuan rakyat Maespati. Tidak itu saja.Rakyat Maespati yang membencinya ikut menambah derita lahir batinnya. Mereka melempari tubulnya dengan batu, kayu, telur busuk dan juga kotoran hewan. Bila berkesempatan sebagian rakyat Maespati meludahi mukanya.Setelah semua lorong-lorong jalan ibu negara Maespati dilalui, Prabu Arjunasasrabahu mengarahkan keretanya menuju ke pesanggrahan dimana Dewi Citrawati dan para selir beserta para dayang berkemah. Prabu Arjunasasrabahu ingin menunjukan kepada istrinya, wujud raksasa Rahwana yang telah membunuh Patih Suwanda.Apa yang dialami Prabu Rahwana diketahui pula oleh Detya Kala Marica. Raksasa cerdik dan licik ini merasa iba atas penderitaan yang dialami rajanya, juga rasa sakit hati rajanya diperlakukan sedemikian hina. Marica ingin membalas dendam, membuat sakit hati Prabu Arjunasasrabahu. Ketika tubuh Rahwana masih terseret-seret di sepanjang jalanan ibu negara Maespati. Marica mendahului pergi ke pesanggrahan Dewi Citrawati. Dengan merubah wujudnya menjadi seorang punggawa istana, Marica berhasil menemui Dewi Citrawati. Dengan menghiba dan kata-kata pedih diciptakannya sebuah laporan palsu, bahwa Prabu Arjunasasrabahu beserta para raja pengikutnya telah tewas dalam peperangan melawan Rahwana. Disampaikan pula pesan Prabu Arjunasasrabahu, mengingat Rahwana raja yang ambek angkara murka, maka apabila Prabu Arjunasasrabahu tewas dalam peperangan, maka Dewi Citrawati, sernua para selir berikut dayangdayang harus melakukan bela pati.Kata-kata Marica yang disertai mantra “kemayan” itu berhasil membutakan alam pikiran bawah sadar Dewi Citrawati, yang dengan mudahnya menerima saja semua laporan Marica. Tanpa pikir panjang, demi bakti setianya pada suami, Dewi Citrawati segera menghunus patrem (keris kecil) dan melakukan bunuh diri. Tindakan Dewi Citrawati tersebut segera diikuti oleh para selir dan dayang. Terjadilah bunuh diri masal yang mencapai hampir empat ribu orang. Sehingga dalam sekejap, pesanggrahan yang dibangun dengan segala keindahan dan keelokannya itu dipenuhi oleh
mayat-mayat wanita cantik.Namun masih ada seorang dayang yang belurn sempat melakukan bunuh diri. Hal ini karena saat ia akan menusukan patrem ke ulu hatinya, Marica yang merasa usahanya telah berhasil telah merubah wujudnya ke wujud aslinya. Dayang itu pingsan karena takut melihat wajah Marica yang mengerikan.Betapa terkejut Prabu Arjunasasrabahu ketika ia memasuki pesanggrahan, dijumpainya Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang sernuanya telah menjadi mayat, tumpang-tindih tak karuan. la tak tahu, apa yang telah terjadi sesungguhnya hingga istri dan sernua selir serta para dayang melakukan bunuh diri masal. Pada saat Prabu Arjunasasrabahu dalam kebingungan, dayang yang selamat telah siuman dan segera mendekati Prabu Arjunasasrabahu, melaporkan apa yang sesungguhnya telah terjadi. Bunuh diri masal itu terjadi karena Dewi Citrawati, para selir dan dayang melaksanakan pesan Prabu Arjunasasrabahu yang disampaikan oleh raksasa Alengka yang menyaru sebagai punggawa istana Maespati.

Seketika muntab kernarahan Prabu Arjunasasrabahu. la bermaksud untuk bertiwikrama, membunuh Rahwana dan menghancurkan alam seisinya sebagai protes atas ketidak adilan dewata yang telah membiarkan istrinya yang setia termakan bujukan Marica. Namun sebelurn niat itu dilaksanakan, telah muncul Bhatara Waruna. Dewa laut itu datang menyabarkan Prabu Arjunasasrabahu. Dikatakan kepada raja Maespati tersebut, bahwa apa yang menimpa Dewi Citrawati berikut para selir dan dayang merupakan cobaan dewata yang harus diterima dengan lapang dada. Kedatangannya menemui prabu Arjunasasrabahu adalah untuk menolong sang Prabu dari kesedihan. Dengan air sakti Tirta mulya” (=semacam air penghidupan “tirta amarta”) ia
sanggup menghidupkan kembali orang yang telah mati, khususnya yang mati karena terluka.Prabu Arjunasasrabahu menerima kebaikan hati Bhatara Waruna. Dengan percikan air sakti “Tirta mulya” Dewi Citrawati dapat dihidupkan kembali. Demikian pula para selir dan dayang-dayang yang jumlahnya hampir 4000 orang. Setelah itu Bhatara Waruna menjelaskan, bahwa yang membuat pengkhianatan dengan memberikan laporan palsu adalah Datya Kala Marica, hulubalang setia Rahwana, yang memang cerdik dan licik. Mengetahui hal itu, Prabu Arjunasasrabahu bertekad akan segera mencari dan membunuh Marica walau ia berlindung di balik Kahyangan sekalipun.Dewi Citrawati melarangnya. Janganlah kebencian beralih menjadi dendam. Toh berkat pertolongan Bhatara Waruna, ia dan semua selir dan dayang-dayang telah hidup kembali. Karena itu Dewi Citrawati meminta agar Prabu Arjunasasrabahu melupakan dendamnya terhadap Marica. Demi menghormati keinginan istrinya, Prabu Arjunasasrabahu berjanji akan melupakan dendamnya
terhadap Marica.Sepeninggal Bhatara Waruna, datang menemui Prabu Arjunasasrabahu, Brahmana Pulasta yang sengaja turun dari pertapaan Nayaloka yang berada di kahyangan Madyapada. Brahmana raksasa yang tingkat ilmunya sudah mencapai kesempumaan itu adalah kakek buyut Rahwana dari garis ayah, Resi Wisrawa. Brahmana Pulasta adalah cucu Bhatara Sambodana yang berarti cicit Bhatara Sambu. la, berputra Resi Supadma, ayah Resi Wisrawa. Kedatangan Brahmana Pulasta menemui Prabu Arjunasasrabahu adalah untuk memintakan pengampunan bagi cucu buyutnya, Rahwana. Karena menurut ketentuan Dewata, belum saatnya Rahwana untuk menemui kematian. la memang harus mati oleh satria penjelmaan Dewa Wisnu, tetapi bukan pada penjelmaannya yang sekarang, tetapi pada penjeImaan Wisnu berikutnya.“Rahwana memang makluk yang ambek angkara murka. memang pantas menderita dan mati untuk menebus dosa-dosanya. Tapi bukan sekarang. Itutah ketentuan dewata yang aku ketahui. Karena itulah aku memohon kemurahan hati Paduka untuk membebaskan Rahwana. Berilah ia
kesempatan untuk hidup dan memperbaiki perilakunya. Apapun persyaratan yang Paduka minta, aku akan memenuhinya.” kata Brahmana Pulasta, lembut menghiba.“Aku juga tidak akan membunuh Rahwana sebagaimana janjiku pada Bhatara Narada. Apa yang aku lakukan sekedar memberi pelajaran pada Rahwana agar ia menyadari, bahwa di jagad raya ini masih banyak titah lain yang dapat mengalahkannya, walau tidak kuasa untuk membunuhnya. Kalau aku membebaskan Rahwana, jaminan apa yang bisa sang Bagawan berikan padaku?”
kata Prabu Arjunasasrabahu.
“Jaminanku, aku berjanji, Rahwana akan tunduk pada Paduka dan mau merubah sifat angkara murkanya. Aku yakin, Rahwana bersedia menyerahkan negara dan tahta Alengka kepada Paduka dan menjadikan Alengka sebagai negara bagian Maespati. Sebagai imbalan kemurahan hati Paduka membebaskan Rahwana, aku bersedia menghidupkan semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan!” kata Brahmana Pulasta.Menghargai permintaan brahmana sakti yang tingkat hidupnya sudah setara dewa itu, Prabu Arjunasasrabahu memenuhi apa yang menjadi keinginan Brahmana Pulasta. Rahwana segera dilepaskan dari ikatan rantai yang membelit sekujur tubuhnyaBegitu terbebas, Rahwana langsung duduk bersimpuh di hadapan Prabu Arjunasasrabahu. Sambil menyembah ia menyatakan fobat
dan berjanji tidak akan berbuat kejahatan lagi. Rahwana juga menyatakan tunduk pada Prabu Arjunasasrabahu dan rela menyerahkan tahta dan kerajaan Alengka dalam kekuasaan raja Maespati, dan bersedia menjadi raja taklukan.Prabu Arjunasasrabahu menerima pertobatan Rahwana. Namun ia tak menghendaki tahta dan negara Alengka. la hanya menasehati dan meminta Rahwana untuk memerintah dengan adit dan memanfaatkan kekayaan negara untuk kepentingan rakyatnya. Bukan untuk kepentingan diri sendiri dan keluarganya.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/pulasta.jpg?w=535
Brahmana Pulasta pun memenuhi janjinya. Dengan mantera saktinya ia berhasil menghidupkan kembali semua prajurit Maespati yang tewas dalam peperangan, terkecuali Patih Suwanda. Inilah yang membuat sedih Prabu Arjunasasrabahu. Ketika ia menanyakan hal itu kepada Brahmana Pulasta, sang brahmana menjelaskan bahwa kematian Patih Suwanda sudah mencapai kesempumaan sesuai takdir hidupnya. Ia menemui ajalnya sesuai dengan karmanya terhadap Sukasrana, adiknya.“Kalau aku paksakan untuk menghidupkan kembali Rayi Paduka, Patih Suwanda, berarti aku nekad melanggar kehendak Sang Maha Pencipta. Aku juga telah melanggar niat luhur Sukasrana. Karena arwah manusia suci itu belum mau masuk ke sorgaloka tanpa bersama-sama arwah kakaknya, Sumantri — nama kecil Patih Suwanda !” kata Brahmana Pulasta menegaskan.Prabu Arjunasasrabahu akhimya dapat menerima penjelasan Brahmana Pulasta dan merelakan kematian Patih Suwanda. Sepeninggal Brahmana Pulasta dan Rahwana, Pancaka (api pembakaran mayat) segera disiapkan untuk menyempurnakan jasad Patih Suwanda. Selesai upacara pembakaran jenazah Patih Suwanda, mereka kembali ke ibunegeri Maespati.Sejak peristiwa tersebut, negeri Maespati tumbuh menjadi negara adi daya dan adi kuasa. Kejayaannya merambah sampai lebih dan tiga perempat isi jagad raya. Prabu Arjunasasrabahu sendiri dikenal sebagai Raja yang Gung Binatara (Maha Besar dan Maha Berkuasa) * Hampir seluruh raja di jagad raya secara suka reta tunduk dan hormat kepadanya. Meskipun demikian, ia tetap bersikap bijaksana, arif dan hormat terhadap sesama titah marcapada.Kebahagaian Prabu Arjunasasrabahu dilengkapi pula dengan kebahagiaan keluarganya. Dari pernikahannya dengan Dewi Citrawati, Prabu Arjunasasrabahu berputra Raden Ruryana. Oleh ayahnya sejak kecil Raden Ruryana dididik dalam berbagai ilmu, baik ilmu tata kenegaraan maupun ilmu jayakawijayan. Hal ini karena dialah satu-satunya pewaris tahta dan negara Maespati.Merasa tak ada lagi lawan yang berarti, dan tak ada lagi gangguan yang mengancam negara Maespati dan negara-negara sekutunya, kehidupan selanjutnya dari Prabu Arjunasasrabahu lebih banyak digunakan bersenangsenang, memanjakan istri, para selir dan putra-putranya. Akibatnya, semakin asyik hidup dalam kesenangan, Prabu Arjunasasrabahu mulai melupakan tugas kewajiban menjaga kelestarian dan kesejahteraan jagad raya (memayu hayuning, bawono).
https://wayang.files.wordpress.com/2010/03/1-ramaparasu.jpg?w=535
Akibat dari kelalaian Prabu Arjuansasrabahu tersebut, tanpa sepengetahuannya (tanpa ia sadari-pen), Dewa Wisnu loncat dari tubuhnya, menitis pada Ramaparasu, putra bungsu dari lima bersaudara putra Resi Jamadagni dan Dewi Renuka, raja negara Kanyakawaya yang hidup sebagai brahmana di pertapaan Daksinapata. Ramaparasu sedang melaksanakan sumpah dendamnya, ingin membunuh setiap satria yang dijumpainya. Sumpah itu terlontar sebagai akibat dari perbuatan Prabu Citrarata, yang telah menodai ibunya, Dewi Renuka, serta perbuatan Raja Hehaya yang telah menghancurkan pertapaan Daksinapata dan membunuh Resi Jamadagni, ayahnya.
Beberapa tahun kemudian, Prabu Arjunasasrabahu dan Ramaparasu saling bertemu di sebuah hutan. Saat itu Prabu Arjunasasrabahu sedang melakukan perburuan di hutan. Seperti biasa, setiap melakukan perburuan, Prabu Arjunasasrabahu selalu mengajak serta Dewi Citrawati, semua para selir, para dayang dan para raja sekutunya. Ikut serta dalam rombongan tersebut ratusan prajurit pengawal dan para kerabat kerajaan Maespati lainnya. Sehingga kegiatan perburuan tak ubahnya kegiatan wisata keluarga besar Kerajaan Maespati.
Perkemahan besar pun dibangun di tengah hutan sebagai tempat tinggal Dewi Citrawati, para selir dan dayang-dayang. Sementara Dewi Citrawati dan para selir dan dayang tinggal di perkemahan dalam kawalan para prajurit, Prabu Arjuansasrabahu disertai Prabu Kalinggapati, Prabu Soda, Prabu Candraketu dan beberapa hulubalang melakukan perburuan binatang ke tengah hutan. Pada saat melakukan perburuan itulah Prabu Arjunasasrabahu di hadang oleh Ramaparasu. Ramaparasu sengaja menghadangnya setelah mendapat petunjuk dari seorang brahmana, bahwa raja yang sedang melakukan perburuan adalah Prabu Arjunasasrabahu, raja penjelmaan Dewa Wisnu dari negara Maespati.
Atas anugerah dewata sesuai doa dan permohonan ayahnya, Resi damadagni, Ramaparasu hanya akan mati oleh perantaraan titisan Dewa Wisnu. Karena itu setelah ia lama malang melintang membunuh para satria, dan merasa telah bosan hidup, ia berusaha mencari satria penjelmaan Dewa Wisnu, untuk memintanya mengantarkan kembali ke alam kelanggengan. Karena itu ketika dalam pengembaraannya ia bertemu dengan seorang brahmana yang memberitahukan bahwa Dewa Wisnu menitis pada Prabu Arjunasasrabahu, Ramaparasu berusaha mencari Prabu Arjunasasrabahu sampai ke negara Maespati, dan akhimya menyusul ke hutan. Penghadangan yang dilakukan oleh Ramaparasu, sangat menggembirakan hati Prabu Arjunasasrabahu. Perawakan Ramaparasu yang tinggi besar, kekar dan menakutkan itu dengan dua pusaka, Kapak dan Bargawastra, menerbitkan suatu harapan besar di hati Arjunasasrabahu, bahwa
yang menghadangnya ini adalah penjelmaan Dewa Wisnu — pada saat itu Prabu Arjunasasrabahu telah menyadari Dewa Wisnu telah meninggalkan dirinya. Karena itu ia pun ingin mati melalui perantaraan Dewa wisnu.
Ramaparasu menceritakan kisah hidup petualangannya, sejak meninggalkan pertapaan Daksinapata setelah perabukan jenasah ayahnya, Resi Jamadagni, hingga ia bertemu dengan Prabu Arjunasasrabahu. la merasa bimbang dan keraguan akan dharma yang telah dijalankan Resi Pulasta, kakek Rahwana selama ini. Karena itu tujuanya kini hanyalah mencari penjelmaan Dewa Wisnu, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat mengantarkannya ke Nirwana.“Itulah Paduka yang hamba cari selama ini.” kata Ramaparasu. “Mengapa tuan mengira hamba sebagai penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu. “Tanda-tanda keagungan ada pada Paduka ” jawab Ramaparasu. “Tuan juga seorang yang agung budi. Menurut pendapatku, Tuanlah satria brahmana berwatak dewa, karena tuan telah melaksanakan dharma dan kebajikan dunia dan umat manusia. Siapa lagi yang sanggup berbuat demikian selain Dewa Wisnu?” kata Arjunasasrabahu.“Oh. sekiranya kata-kata Tuan benar, apa perlu hamba mencari Dewa Wisnu?” kata Ramaparasu.“Jadi Tuan tetap mengira, akulah penjelmaan Dewa Wisnu?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.“Ya, sebab Paduka bias bertriwikrama!”“Sekiranya aku mengatakan tidak, lalu apa yang akan Tuan lakukan?”“Akan hamba paksa Paduka melepaskan senjata Cakra. Sebab hanya senjata Dewa Wisnu yang dapat menembus dada hamba!” jawab Ramaparasu tegas.“Sekiranya senjataku tidak dapat menembus dada Tuan , lalu apa yang akan Tuan lakukan?” tanya Prabu Arjunasasrabahu.“Paduka akan hamba bunuh dengan Bargawastra Paduka pasti tewas, sebab hanya Dewa Wisnu yang dapat menahan keampuhannya!” kata Ramaparasu penuh keyakinan.Prabu Arjunasasrabahu tersenyum. Dalam hati ia berdoa, mudah-mudahan Bargawastra dapat menembus dadanya. Dan inilah yang ia cari selama ini.
https://wayang.files.wordpress.com/2010/07/arjunasasrabahu-ramaparasu.jpg?w=535&h=477
Mereka kemudian sepakat untuk mengadu kesaktian. Mereka kini telah siap tempur. Karena masing-masing tak ada niat untuk menggelak hantaman senjata lawan, mereka berdiri hampir berhadap-hadapan. Ramaparasu menimang-nimang Bargawastra, sedangkan Prabu Arjunasasrabahu memegang senjata cakra yang berbahaya, Dengan teriakan panjang keduanya siap melepaskan senjata pemusnahnya masing-masing.Prabu Arjunasasrabahu menahan senjata cakranya. Semenjak bersiaga, tiada niat sedikitpun untuk melepaskan senjata cakra, sebab takut akan menembus dada Ramaparasu. Sebaliknya Ramaparasu melempaskan senjata Bargawastra dengan sungguh-sungguh. Senjata ampuh itu menyibak udara menembus dada Prabu Arjunasasrabahu, yang segera rebah ke tanah dengan
bersembah. Bisiknya : “Oh, Dewata Agung! Hamba menghaturkan terimakasih yang tak terhingga. Sudah engkau tunjukan kepadaku kini, Dialah sesungguhnya penjelmaan Dewa Wisnu setelah aku!”Walau bersimbah darah, wajah Arjunasasrabahu menunjukkan kepuasan batin yang dalam, karena akan mati dengan hati iklas dan puas. Ramaparasu yang menyaksikan kejadian itu sangat terkejut. Ia segera berlari dan memeluk tubuh Prabu Arjunasasrabahu.“Hai, betapa mungkin …. ? Betapa mungkin?! Paduka berkhianat. Paduka sengaja tidak melepaskan senjata cakra!” kata Ramaparasu menggugat.Sambil menahan rasa sakit, Prabu Arjunasasrabahu berujar : “Sudah kukatakan tadi, tiada senjata apapun di dunia ini yang dapat menembus dadaku kecuali senjata Dewa Wisnu yang dilepaskan oleh Dewa Wisnu sendiri. Jadi jelas sudah, Tuan memang penjelmaan Dewa Wisnu!”Seketika terbit perasaan gusar dan kecewa pada Ramaparasu begitu mengetahui Prabu Arjunasasrabahu bukan penjelmaan Dewa Wisnu. Menganggap bahwa Prabu Arjunasasrabahu tidak ada artinya lagi baginya, tak ubahnya ribuan satria lain yang telah dibunuhnya, maka Ramaparasu berteriak lantang: “Jahanam! Bangsat! Kau telah menipuku. Kau memang layak untuk mati! ” Setelah itu Ramaparasu pergi meninggalkan jasad Prabu Arjunasasrabahu.Sepeninggal Ramaparasu, jasad Prabu Arjunasasrabahu diangkat oleh Prabu Kalinggapati dan Prabu Soda, dibawa ke pesanggrahan. Gelombang tangis dan hujan air mata seketika meledak dan terjadi di pesanggrahan, karena Dewi citrawati beserta sernua selir Prabu Arjunasasrabahu yang berjumlah 2000 orang, beserta para dayang yang jumlahnya hampir ernpat ribu orang
itu, nangis bersama-sama.Persiapan pembakaran jenasah segera dilakukan oleh Prabu Kalinggapati, Prabu Soda dan para raja lainnya. Arena pembakaran dipersiapkan sedemikian luas. Ribuan ton kubik kayu dipersiapkan. Inilah arena dan upacara pembakaran mayat yang terbesar yang pernah ada di jagad raya. Karena bukan hanya jenasah Prabu Arjunasasrabahu yang akan dibakar, tetapi Dewi
Citrawati dan para selir akan ikut bela pati, terjun kedalam pancaka (api pembakaran jenasah).Pudarnya nyala api pembakaran, bukan hanya sekedar akhir hidup dan kejayaan Prabu Arjunasasrabahu, tetapi juga awal pudarnya masa kejayaan negara Maespati. Sebab sepeninggal Prabu Arjunasasrabahu, satu persatu para raja dari negara-negara yang semula bergabung dengan Maespati, menyatakan diri memisahkan diri dan berdaulat sendiri.Tak ayal lagi, setelah berakhirnya masa pemerintahan Prabu Ruryana, secara lambat tapi pasti, negeri Maespati lenyap dari percaturan dunia pewayangan. Ironis memang!.
2. Arjuna Sasrabahu Krama
Lakon pakem ini juga disebut Arjunawijaya Tapa Salebeting Guwa Ringin Petak, mengisahkan perkawinan Arjunawijaya, yakni Aijuna Sasrabahu sebelum naik takhta menjadi raja di Maespati. Dalam lakon pakem ini, dikisahkan usaha Prabu Dasamuka untuk membunuh dan memenggal kepala 1000 orang pendeta di dunia. Untuk melaksanakannya, ia menugasi raksasa sakti bernama Yaksamuka.
Waktu hendak membunuh Begawan Jumanten dari Pertapaan Giriretno, usaha Yaksamuka dihalangi oleh Bambang Kertanadi, putra sang Begawan. Yaksamuka kalah dan lari, tetapi dikejar Bambang Kartanadi. Dalam pelariannya raksasa Alengka itu bertemu dengan Arjunawijaya, lalu minta perlindungan.
Setelah Bambang Kartanadi dapat menyusul, Arjunawijaya menghalangi niat Bambang Kartanadi membunuh Yaksamuka. Mereka berperang, sehingga Bambang Kartanadi takluk. Yaksamuka dan Bambang Kartanadi lalu bersama-sama mengabdi pada Arjunasasra.
Keduanya juga mengikuti Arjunawijaya pergi ke Tunjungpura, untuk melamar Dewi Citralangeni. Setelah dapat menenuhi segala persyaratan, Arjunawijaya menikah dengan Dewi Citralangeni, lalu membawanya pulang ke Kerajaan Maespati.
Bambang Kartanadi tetap mengikuti Arjunawijaya, tetapi Yaksamuka pulang kembali ke Alengka karena Bambang Kartanadi masih tetap mengancamnya. Ternyata sesampainya di Alengka, Yaksamuka dibunuh oleh Prabu Dasamuka karena dianggap gagal menunaikan tugas.

1.      Sumantri Ngenger (Bahasa Jawa)


Cerita wayang lakon Sumantri Ngenger dalam Bahasa Jawa - Ing pertapan Jatisrana, ana pandhita aran Begawan Suwandhagni. Sang Begawan nduwe anak loro lanang kabeh aran Bambang Sumantri lan Raden Sukasrana. Bambang Sumantri wujude satriya bagus, dene Raden Sukasrana wujude buta bajang utawa buta cebol sing nggilani. Sanajan rupane nggilani nanging Bambang Sumantri tresna banget marang adhine. Samono uga Raden Sukasrana.
  
Nalika Sumantri wis diwasa, Begawan Suwandhagni ngendika supaya Sumantri ngenger utawa suwita menyang Negara Maespati. Sumantri sendika dhawuh. Lakune didherekake punakawan papat Semar, Gareng, Petruk lan Bagong. Begawan Suwandhagni nitipake sanjata Cakra darbeke Prabu Harjuna Sasrabahu supaya dibalekake.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh8wjLUv5KjyUfqczHCE8-a-1uo8XfLuIw5C6H-TgJIA9_DfubQVia_czJJcfxk_0Hqgp5SK22oxs95s9t_aX3qX0WOBcuKLd3juTAChbR6wpfHGu7s3Jpbu4WvlJXLnPmKrOVMi0aYIIE/s320/bambang+sumantri.jpg
Lakune Bambang Sumantri kandheg amarga Raden Sukasrana kepengin melu. Bambang Sumantri banjur ngarih-arih adhine nganti turu. Sawise adhine turu, Bambang Sumantri budhal nilapake adhine menyang Negara Maespati.
Ing Negara Maespati Sang Prabu Harjuna Sasrabahu lagi ngrembug bab arepe mupu sayembarane Dewi Citrawati ing Negara Magada. Dewi Citrawati nganakake sayembara, sapa sing bisa menehi srah-srahan putri dhomas cacah wolungatus bakal dadi bojone. Nalika lagi padha rembugan katungka sowane Bambang Sumantri. Bambang Sumantri matur arep suwita marang Prabu Harjuna Sasrabahu. Prabu Harjuna Sasrabahu gelem nampa suwitane Sumantri lamun dheweke bisa mupu sayembarane Dewi Citrawati.. Sumantri nyaguhi banjur budhal menyang Negara Magada.
Ing Negara Magada, wis akeh para raja lan satriya sing ngleboni sayembara. Padha-padha gedhe kekarepane, padha-padha ora gelem ngalahe wasana dadi perang rame. Pungkasane para raja lan satriya kalah kabeh karo Sumantri jalaran dheweke migunakake sanjata Cakra. Para raja telukan padha pasrah putri boyongan nganti cacah wolungatus. Sumantri klakon mboyong Dewi Citrawati kanthi srah-srahan putri dhomas cacah wolungatus.
Rumangsa bisa ngalahake ratu sewu negara, Sumantri dadi gumedhe, umuk, kemaki. Ing batin dheweke rumangsa menangan mula banjur thukul niyate arep nelukake Prabu Harjuna Sasrabahu. “Ratu sewu negara bae padha keyok kabeh karo aku, genea aku ndadak suwita marang Prabu Harjuna Sasrabahu? Kena ngapa ora tak telukake pisan dadi andhahanku?” ngono batine Sumantri kandha. Sumantri banjur nulis surat panantang marang Prabu Harjuna Sasrabahu lan dipasrahake marang patihe Prabu Harjuna Sasrabahu sing ndherekake lakune saka praja Maespati.
Prabu Harjuna Sasrabahu mung mesem nampa panantang saka Sumantri. Dheweke enggal methukake lakune Sumantri. Sumantri lan Prabu Harjuna Sasrabahu perang rame. Padha sektine, padha terngginase. Perange nganti pirang-pirang dina. Sumantri kekeselen banjur kepengin ngrampungi perange karo Prabu Harjuna Sasrabahu. Dheweke enggal ngetokake sanjata Cakra arep ditamakake marang Prabu Harjuna Sasrabahu. Sanjata Cakra kuwi sejatine duweke Prabu Harjuna Sasrabahu. Nalika lair Prabu Harjuna Sasrabahu wis nggawa sanjata Cakra, amarga dheweke sejatine titisane Bathara Wisnu. Nalika smana sanjata Cakra disilih pamane, Begawan Suwandhagni.
Weruh sanjata Cakra ing tangane Sumantri, sakala Prabu Harjuna Sasrabahu nesu. Prabu Harjuna Sasrabahu triwikrama utawa malih dadi buta gedhene sagunung. Sanjata Cakra disaut banjur diuntal. Buta ngamuk gereng-gereng arep ngremuk Sumantri sing kemaki. “Sumantri, kowe satriya picek, watekmu ala, melik barange liyan. Satriya wingi sore kemaki wani nantang Ratu Gustine. Tak remet pisan remuk kowe Sumantri!” Weruh Bathara Wisnu nesu, Sumantri ndheprok, lemes ora duwe daya. Nalika Sumantri disaut Brahala, Bathara Narada tumurun ngarcapada nyapih satriya loro. Buta lilih badhar dadi Prabu Harjuna Sasrabahu.
Sumantri banjur ditundhung lunga. Pasuwitane bisa ditampa maneh menawa dheweke bisa muter utawa mindhah Taman Siwedari menyang Negara Maespati. Taman Sriwedari kuwi taman ing kahyangan Nguntara Segara, kahyangane Bathara Wisnu. Sumantri sing wis ilang kasektene amarga koncatan sanjata Cakra banjur klunuh-klunuh lunga saparan-paran, karepe arep wadul bapake, Begawan Suwandhagni.
Lakune Sumantri kepethuk Raden Sukasrana sing nyusul lungane. Sumantri nyritakake kabeh lelakone marang Sukasrana. Sukasrana mesem krungu critane Sumantri.
“Nek mung utel aman we, ampang akang,” kandhane Sukasrana karo ngguyu ngakak.
“Tenan, Yayi? Kowe bisa muter Taman Sriwedari?” kandhane Sumantri.
“Isoh ae, Akang. Uwi ampang!”
“Adhiku, Dhi Sukasrana. Tulungana aku ya, Dhi!” kandhane Sumantri memelas.
“Aku isoh utel aman Iwedali ning ana alate, Akang.”
“Apa syarate, Dhi?”
“Aku engen elu owe, Akang. Aku elu uwita Abu Aluna Asa.”
“Kowe kepengin melu aku suwita Prabu Harjunasasra?”
“Iya, Akang.”
“Iya, Dhi. Angger si Adhi bisa muter Taman Sriwedari mesthi tak ajak suwita menyang Maespati.”
“Enan, Kang? Owe anji Kang? Owe ola apusi?”
“Iya Dhi, pun kakang janji ora bakal ngapusi!”
“Yoh, Akang. Entenana edhela ya?”
Sukasrana banjur muja semedi. Sanajan rupane ala nanging gedhe prihatine. Sedhela wae taman Sriwedari wis pindhah menyang alun-alun keraton Maespati, gawe gegere wong sanagara. Sawise klakon muter Taman Sriwedari, Sumantri ditampa suwita ing Negara Maespati dadi patih, aran Patih Suwanda. Sukasrana diajak Sumantri menyang Negara Maespati nanging dipenging ngetok, amarga Sumantri isin duwe adhi wujud buta cebol sing rupane nggilani. Sukasrana dikongkon manggon lan ndhelik ing sajroning taman.
Nalika Dewi Citrawati ninjo kahanane lan kaendahane Taman Sriwedari, dheweke njerit-jerit kamigilan weruh ana buta bajang ing jero taman. Dewi Citrawati banjur lapuran marang Prabu Harjuna Sasrabahu. Sang Prabu dhawuh marang Sumantri supaya nyingkirake buta bajang. Sumantri sing wis nggraita menawa buta sing dikarepake kuwi adhine, Sukasrana, banjur budhal mlebu taman.
Tekan ing jero taman, Sumantri nesu-nesu ngunek-ngunekake adhine sing medeni Dewi Citrawati. Sukasrana dikongkon bali menyang pertapan. Sukasrana ora gelem amarga wis dijanjeni dening Sumantri arep diajak suwita ing Negara Maespati. Sumantri gregeten. Sukasrana diagar-agari panah dikongkon bali. Sukasrana tetep ora gelem bali malah nyedhak nagih janjine Sumantri. Nganti suwe anggone eyel-eyelan, pungkasane panah mrucut saka tangane Sumantri lan nancep ing dhadhane Sukasrana. Sukasrana mati. Kuwandane ilang musna, ninggal sepata.
“Kakang Sumantri! Tega temen kowe karo aku, Kakang. Kowe mblenjani janji, Kakang. Aku ora trima. Utang pati nyaur pati. Eling-elingen mbusuk yen kowe perang tandhing karo ratu buta saka Ngalengka, ing kono tumekane piwalesku, Kakang. Wis kakang, tak enteni ing lawange surga.
Sumantri gela, Sumantri sedhih. Nanging kabeh mau barang wis kebacut. Katresnane marang adhine ilang amarga saka drajat lan pangkat. Wateke ala seneng nyidrani janji. Janji bekti marang ratu gustine, diblenjani. Janji nresnani adhine, diblenjani. Janji ngajak adhine, diblenjani. Kabeh mau mung amarga melik drajat pangkat lan kamukten. Besuk patine sumantri dikemah-kemah Prabu Rahwana ratu buta saka Ngalengkadiraja.
Demikian Cerita wayang lakon Sumantri Ngenger dalam Bahasa Jawa yang dapat kami bagikan, semoga bermanfaat
2.                                              Harjuna Sasrabahu Gugur 
Harjuna Sasrabhu yang telah kehilangan segala-galanya sudah berbulan-bulan lamanya mencari mati. Ia manantang, membenci dengan siapa saja yang dijumpainya. Ia pikir mungkin tak salah satu yang dijumpainya adalah Wisnu. Ia lupa bahwa Wisnu yang dicarinya lebih dekat dengan pribadinya. WIsnu ada dalam pusat rahsanya. Bukankah telah diajarkan bahwa:
“Lamun yitna kayitnan kang miyatani. Tarlen mung pribadinipun kang katon tinonton kono”.
Artinya: Asal tetap waspada dan ketengan yang sempurna maka yang tampak hanyalah dirinya sendiri. Demikian ajaran Wedha.
Syahdan, pada suatu saat tiba-tiba Harjuna Sasrabahu dalam perjalanannya terhalang oleh sebuah tubuh yang kekar, tinggi bercawat laksana manusia purba, namun ia memancarkan sinar terangnya.
Maka pikir Harjuna Sasrabahu : “kini aku ketemu Wisnu”.
Sebaliknya Ramabargawa melihat kedatangan Harjuna Sasrabahu yang memancarkan cahaya terang, juga berkata: “Kini aku ketemu yang kucari, Wisnu”.
Setelah kedua-duanya saling berpandangan, maka terjadilah dialog:
– Hai Engkau. Siapakah namamu? Aku adalah Ramaparasu, sudahkah engkau mengenal aku?
– Jawab Harjuna Sasrabahu: “O Engkau, aku telah mendengar namamu. Sungguh tak kuduga dan kusangka aku akan bertemu dengan Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang kucari. Namaku adalah Harjuna Sasrabahu, semula raja di negara Maespati.
Saking gembiranya Ramaparasu tertawa terbahak-bahak katanya:
– Kalau begitu Engkau adalah Wisnu, sekarang lepaskanlah cakramu kepadaku biarkanlah aku mati dan hanya akan mati oleh Wisnu agar supaya aku berada disisimu.
– Harjuna Sasrabahu memotong ucapan Ramaparasu: “Aku adalah Aku, Engkau adalah Engkau. Aku takkan membunuh Engkau, karena Engkau adalah Wisnu yang aku cari.
– Saut Ramabargawa, sambil menantang Harjuna Sasrabahu. “Kalau Engkau tak mau membunuh Aku, Maka akulah yang akan membunuh Engkau.
Ramabargawa dan Harjuna Sasrabahu berhenti berdialog. Kedua-duanya menyiagakan diri untuk melepaskan senjatanya, tetapi Harjuna Sasrabahu menahan senjata cakra dan tidak dilepaskan tali busurnya.
Sebaliknya Ramabargawa dengan sungguh-sungguh melepaskan senjatanya. Bargawastra/kapaknya lepas bersuling membelah angkasa menatap dada Harjuna Sasrabahu belah menjadi dua.
Harjuna Sasrabahu terbunuh rebah ditanah tak bergerak. Kemudian mukswa dengan seluruh raganya ia mencapai Nirwana. Sedang Ramabargawa, sejenak tertegun berdiri tegak dan setelah sampai puncaknya ia berteriak, kalau begitu Aku adalah Wisnu. Wisnu adalah kebenaran. Jadi Aku adalah Kebenaran.
Demikian dialog seorang yang sedang mencari dan bertemu dengan Kebenaran. Seperti halnya Sunan Bonang berdialog dengan Sunan Kali Jaga dan Wujil.
“Mati adalah kebaktian yang paling tepat, dimana tiada lagi dieprhitungkan, O, Wujil, karena orang kembali keasalnya. Jikau kau masih memperhitungkan sesuatu, kau tidak akan menemukan yang kau harapkan. Dan jika kau ingin menemukanNya, maka kau harus merusak badanmu (atau : “nafsu-nafsumu”). Jika engkau telah menemukanNya maka kemauanmu akan manunggal (bersatu) dengan kemauanNya.
Kau akan manunggal dengan DIA ; hanya namanya saja berlainan ; kau akan menjadi satu dalam “rasa” dengan DIA dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan DIA. Sesudah manunggal, dimana kau menyerahkan mati dan hidupmu, kepadaNya, bagimu tidak ada larangan dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendakNya. Orang yang telah diampuni, tidak boleh memilih maupun membagi dua (yaitu : membeda-bedakan dalam segala hal), suatu tanda dari manunggalnya kehendak DIA.
Nah, saya kira sekarang menjadi jelas apabila ada orang berkata “Manunggaling Kawula Gusti” persatuan antara manusia dan Tuhan. Dari tamsil tersebut di atas jelas bahwa yang bersatu itu hanyalah kemauannya (cihna tinunggil karsa) atau hanya irada-Nya. Bukan zat-Nya. Tuhan adalah tidak terbatas, sedang manusia adalah terbatas. Tidak mungkin cangkir teh dapat menampung air samudera.
Semoga uraian ini dapat menambah terang dan menjadi jelas kiranya. Keterangan ini tak dapat dijelaskan lebih jauh dari apa yang dipaparkan di atas karena sinengker atau “esoteris”.

3.                       Cupu Manik Astagina


 Di pertapaan “Grastina” yang berada di puncak gunung Sukendro (di seni pedalangan jawa sering disebut  pertapaan “Sonyapringga” terdapat seorang pertapa sakti yang masih keturunan sang Hyang Ismaya bernama Resi Gotama. Beliau memiliki seorang istri bidadari cantik yang bernama dewi Windradi. Dari perkawinan ini, Resi Gotama dianugerahi tiga orang anak, yaitu satu putri yang sangat cantik bernama dewi Anjani dan dua orang putra yang sangat tampan yaitu Raden Anjanarka atau Raden Guwarsa serta Raden Anjaningrat atau RadenGuwarsi. Kelak/suatu saat nanti Raden Guwarsa berganti nama menjadi Subali dan Raden Guwarsi menjadi Sugriwa. Baik Subali maupun Sugriwa berujud kera.

            Keadaan di pertapaan Sonyapringga saat itu sangat damai, aman sejahtera tidak kekurangan suatu apapun. Dewi Anjani sebagai anak sulung dan anak perempuan satu-satunya sangat disayang oleh semua anggota keluarga, terutama sangat disayang oleh ibundanya (Dewi Windradi). Raden Guwarsi dan Guwarsa sebagai putra seorang Resi hidupnya serba kecukupan dan menyenangkan.

            Namun tiba-tiba ketentraman dan kedamaian di pertapaan terusik oleh adanya keributan ketiga orang anak Resi Gotama yang memperebutkan Cupu (semacam piala) ajaib yang disebut ”Cupu Manik Astagina”. Keajaiban dari cupu ini adalah bila dibuka tutupnya maka seluruh isi dunia dengan berbagai peristiwa yang terjadi akan terlihat. Selain dari pada itu, cupu itu juga dapat memberi apapun yang diminta oleh pemiliknya. Maka tidak mengherankan kalau ketiga putra Resi Gotama ingin memilikinya. Lalu dari mana asal cupu ini?

Dikisahkan bahwa Dewi Windradi sebelum menjadi istri Resi Gotama pernah menjadi kekasih Batara Surya yang mempunyai sifat agak Play Boy. Sebagai bukti dari cintanya Batara Surya menghadiahkan Cupu Manik Astagina kepada kekasihnya (Dewi Windradi). Waahh Rupanya Dewa juga punya sisi Romantis Ya....?

            Dewi Windradi yang sangat menyayangi putri satu-satunya memberikan cupu pusaka itu kepada Dewi Anjani. Karena benda itu merupakan rahasia pribadi, Dewi Windradi berpesan kepada putrinya agar menjaga kerahasiaan cupu pusaka itu. Tidak boleh ada yang tahu, termasuk kedua saudaranya dan ayahandanya. Akan tetapi, ternyata rahasia itu tidak dapat bertahan seterusnya.

            Suatu saat, kedua adik Anjani mengetahui benda ajaib itu. Keduanya tentu saja juga ingin sekali memilikinya. Akhirnya ketiga bersaudara itu bertengkar hebat memperebutkan ”Cupu Manik Astagina”

            Resi Gotama yang mendengar dan mengetahui pertengkaran putra-putrinya yang tidak biasanya itu segera datang untuk melerai dan berkata: ”Hai anak-anak! Ada apa kalian sampai bertengkar tidak karuan”? Lalu Raden Guwarsa yang punya sifat agak ”getapan/temperamen” menyahut, maaf ayahanda..... kang mbok Anjani memiliki cupu yang sangat indah dan ajaib (dan terus menceritakan kehebatan cupu). Mengapa ayahanda tidak memberi kami berdua benda seperti itu? Kenapa hanya kang mbok Anjani yang diberi?

            Mendengar jawaban dari anaknya yang agak berani dan berbeda dengan biasanya itu, Resi Gotama menjadi kaget dan terdiam sejenak.Resi Gotama merasa tidak pernah memiliki apalagi memberikan cupu kepada Dewi Anjani. Kemudian Resi Gotama memanggil Dewi Anjani untuk melihat cupu yang diperebutkan. Dewi Anjani datang dengan ketakutan dan pucat pasi karena ingat pesan ibundanya untuk merahasiakan cupu tersebut. Maka dengan gemetar Dewi Anjani mendekat kepada ayahandanya. Kemudian Resi Gotama bertanya, ”Putriku yang cantik, mana dan seperti apa benda yang kalian perebutkan?” Suara Resi Gotama sebenarnya sangat lembut, tetapi bagai halilintar di telinga Dewi Anjani karena perasaan bersalahnya. Dengan rasa takut dan gemetar, cupu diserahkan kepada ayahandanya.

            Melihat cupu tersebut, Resi Gotama benar-benar menjadi heran dan takjub sekali. Baru kali ini, Resi Gotama melihatnya. Ketika cupu itu dibukanya, rasa heran dan takjub semakin bertambah. Dalam hati Resi berkata, ”Pantas kalau putra-putrinya pada bertengkar untuk memilikinya”. Selanjutnya Resi bertanya kepada Anjani tentang asal-usul cupu tersebut. Karena Dewi Anjani lebih takut pada ayahandanya dari pada kepada ibundanya, maka Dewi Anjani berterus terang bahwa cupu tersebut pemberian dari ibundanya. Mendengar jawaban itu Resi Gotama langsung memanggil dewi Windradi.

            Ketika Dewi Windradi telah tiba di hadapan Resi Gotama, lalu Resi Gotama bertanya tentang asal-usul cupu ajaib itu. Tetapi Dewi Windradi diam saja. Pertanyaan itu sampai diulang tiga kali dan Dewi Windradi tetap diam saja hanya menundukkan kepala sambil menangis tersedu-sedu. Melihat sikap istrinya ini, sang Resi sangat murka dan berkata, ”Hei ... Windradi! Kamu ini bagaimana?Ditanya suami sampai tiga kali kok hanya diam saja seperti diamnya Tugu! Seketika itu pula Dewi Windradi berubah menjadi tugu. Ternyata kata-kata yang keluar dari Resi itu merupakan kutukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar