Minggu, 11 Oktober 2015

Lakon Kramat Murwakala

Lakon Kramat Murwakala

Lakon murwakala atau purwakala adalah kisah adicarita asli jawa, jaman sebelum jawa saka atau yang lebih dikenal dengan jaman jawa dwipa. lakon ini kemudian dituliskan kembali oleh para pujangga jawa baru yang lebih dikenal dengan lakon serat paramayoga ( nasehat bagi kaum muda) bagi para pedhalang.
murwa atau purwa sendiri berarti awal, sedangkan kala berarti waktu, jadi murwakala kurang lebih berarti awal waktu, atau awal mula jaman, dimana segala sesuatu baru ada. atau bisa juga disebut awal jaman, karena banyak pula yang menyebutkan bahwa wayang purwa ini merupakan simbol dimulainya abad saka, dimulainya perhitungan tarikh suryakala dalam rangkuman tahun Hindu.
jjika merunut kepada filsafat jawa, lakon purwakala ini sebenarnya lebih kepada bahasan tentang purwa dumadining menungsa atau kejadian awal dimana eksistensi manusia di dunia dan semua yang terlibat didalamnya, dan juga tentang inti dari kehidupan manusia atau yang disebut juga kawruh sejatining urip.
dalam lakon asli tentang murwakala, biasanya terdiri dari 3 bagian yaitu :
- bagian pertama menceritakan tentang kisah wayang purwa carangan atau kisah tentang para dewa di alam kedewaannya
- bagian kedua menceritakan tentang para dewa yang turun ke marcapada (dunia manusia), ditugaskan oleh batara guru untuk membantu para manusia dari kemarahan batara kala
- bagian ketiga berisi tentang alam kehidupan manusia yang diberi petunjuk oleh dhalang yang merupakan samaran batara whisnu tentang norma-norma dan nilai-nilai etis untuk meraih ketentraman hidup di dunia
kisah murwakala sendiri dimulai dari cerita lahirnya kalarandya atau yang lebih dikenal dengan nama batara kala.
syahdan, kala itu batara guru sedang langlang buana (sedang terbang sambil bercengkerama dan melihat-lihat dunia) dengan istrinya, yaitu dewi uma dengan mengendarai sapi handini. apa nyana, ternyata ditengah perjalanan, batara guru tergugah hasrat biologisnya terhadap sang dewi. karena rasa malu terhadap sapi handini, juga bukan merupakan waktu dan tempat yang wajar untuk berhubungan biologis, maka dengan berat hati, sang dewi uma menampik keinginan batara guru. karena ditampik oleh sang istri, maka jatuhlah sotyakama ( sperma yang bernilai tinggi/sakti) batara guru ke samodra dibawahnya.
sotyakama yang jatuh kedalam samodra ini membara di laut bagai bara api, seolah-olah menggambarkan nafsu dan amarah batara guru yang ditampik keinginannya oleh dewi uma.  dan karenanya, air samodra pun mendidih, menimbulkan bencana bagi para penghuninya. atas peristiwa tersebut, setelah batara guru dan dewi uma sampai di suralaya ( keratonnya para dewa ), batara guru mengutus batara brama (sang dewa api), untuk memusnahkan sotyakama. apa nyana, saat batara brama berusaha memusnahkan sotyakama, dalam sekejap mata justru sotyakama tersebut berubah menjadi janin dan dalam sekejap mata berubah menjadi bayi raksasa yang justru balik melawan batara brama. dalam hal ini batara brama kalah dan melarikan diri, kembali ke suralaya.
akhirnya batara guru pun mengakui kepada semua dewa yang sedang berembuk mengatasi bencana akibat sotyakama, bahwa bayi raksasa yang mengejar batara brama itu adalah anaknya sendiri. maka dipotonglah ari-ari si bayi raksasa tersebut dengan keris pusakanya, seketika itu juga si bayi raksasa berubah ujud menjadi raksasa remaja. ari-ari yang dipotong berubah menjadi beberapa lelembut ( mahluk halus, seperti setan, iblis,dll ). raksasa remaja tersebut diberi nama kalarandya. kedua gigi taringnya pun dipotong oleh batara guru, yang kemudian berubah menjadi sepasang keris pusaka bernama kalanadhah dan .kaladhente.
” heh danawa, wruhira ! salagune iya ingsun iki kang ayoga ing sira. sakmengko , sira ingsun patedhahi aran batara kala, amarga tumitahira ana ing marcapada mbeneri wayah candhikkala. sira ingsun paringi papan-padunungan ana ing nusatembini, lan sira bakal ingsun paringi pepancen kang minangka dadi memangsanira “
atau dalam terjemahannya kurang lebih adalah :
” hai raksasa, ketahuilah, sebenarnya aku adalah ayahmu, sekarang engkau kuberi nama batara kala, karena lahirmu di dunia ini bertepatan dengan senjakala. engkau kuberi tempat tinggal di nusatembini, dan engkau kuberi batasan apa-apa saja yang kelak boleh jadi makananmu.”
maka, setelah menerima sabda demikian dari sang batara guru, kalarandya kemudian pulang ke nusatembini. banyak orang meyakini bahwa nusatembini adalah pulau karimun jawa.
kelahiran kalarandya ini boleh dibilang salah kedaden atau lahir dengan proses yang salah, tidak wajar, karena bukan lahir dari gua garba (kandungan/rahim). kalarandya lahir hanya berasal dari sotyakama, dan hal itu menyebabkan dia berada diluar tatanan proses kehidupan dunia, diluar tataraning ngaurip (tingkat alam kehidupan manusia yang wajar). bukan golongan dewa pun bukan golongan manusia. hal ini menyebabkan kalarandya terkena kutuk sang hyang tunggal (sang pencipta), dan akan menyebabkan kekacauan dunia, berupa berbagai bencana, kejahatan, kesengsaraan bagi manusia.
atas peristiwa itu pula, batara guru sangat marah terhadap dewi uma. batara guru menganggap penolakan uma atas hasratnya-lah yang menyebabkan kekacauan dan aib tak terkira ini. maka batara guru kemudian mengutuk dewi uma menjadi raksesi (raksasa perempuan) yang kemudian diberi nama dewi durga. dewi durga inilah kemudian yang diktadirkan menjadi istri kalarandya.
kalarandya yg lahirnya di samodra, hanya mengenal samodra sebagai sumber makanannya. hal ini menyebabkan rusaknya ekosistem samodra. batara gangga, sang penguasa laut kemudian menegur kalarandya, bahwa tidak sepantasnya kalarandya merusak tempat lahirnya apalagi memakan sesama mahluk laut( karena kalarandya lahir di lautan, maka bisa juga disebut mahluk laut).
kemudian kalarandya pun menghadap batara guru, memohon agar bisa mendapatkan makanan yang hidup di daratan macapada juga.mendengar permintaan anaknya, batara guru pun bimbang, bingung bukan kepalang, karena nafsu makan kalarandya memang tak mudah dipuaskan. maka batara guru memanggil batara narada untuk dimintai nasehat. sayangnya batara narada pun sedang bertapa di permukaan samodra, dan dia tidak mau menghadap kecuali batara guru menjemput sendiri ke tempatnya bertapa.
setelah dijemput oleh batara guru, keduanya lalu terbang ke jonggringsaloka,untuk menemui kalarandya. hal pertama yg dilakukan batara narada adalah memberikan pakaian kepada kalarandya yang selalu telanjang sejak lahir.lalu batara guru memberi tahu kepada kalarandya mengenai apa saja dan waktu (sa’at atau orang jawa bilang sangat) makan yang diperbolehkan untuk kalarandya. kalarandya hanya boleh makan saat surya tumumpang arka ( tepat tengah hari, surya:matahari, tumumpang;diatas, arka:kepala)
namun kalarandya salah mengartikan kata-kata batara guru. maka tepat tengah hari, ditelannya sang batara surya (matahari), yang membuat dunia siang berubah menjadi gelap gulita. ketika diberitahu oleh batara guru bahwa dia keliru memahami ucapan sang ayah, kalarandya kemudian memuntahkan kembali batara surya dari dalam perutnya.hingga dunia siang kembali terang benderang. oleh karena cerita ini pulalah, jaman dahulu masyarakat jawa mengenal gerhana matahari sebagai peristiwa ditelannya batara surya oleh batara kala.
kemudian batara guru kembali menjelaskan perihal mahluk apa saja yanng boleh dimakan oleh kalarandya. kalarandya hanya boleh memakan manusia-manusia sukerta dan penganyam-anyam. tetapi batara narada melihat hal tersebut bisa menyebabkan goro-goro (kekacauan) di macapada. karena yang termasuk golongan sukerta dan penganyam-anyam tidak sedikit jumlahnya. maka batara narada memberikan nasehat tambahan kepada kalarandya tentang hakikat hidup, kawruh sejatining urip, dengan harapan kalarandya memahami artinya dan tidak menimbulkan goro-goro di marcapada akibat tak bisa mengontrol nafsu makannya.
kalarandya kemudian pulang ke nusatembini. akan tetapi batara guru masih was-was dengan kelakuan kalarandya yang tidak bisa mengerem hawa nafsunya. maka diutuslah batara wishnu (dewa kebenaran, penjaga kedamaian dan kesejahteraan dunia) untuk turun ke marcapada, mengawasi tindak tanduk kalarandya. maka turunlah dewa wishnu dengan istrinya, dewi sri, yang juga ditemani oleh batara narada dan sejumlah dewa lainnya.dewa wishnu menyamar sebagai dhalang, istrinya sebagai sindhen, dan dewa-dewa lainnya menyamar sebagai nayaga (penabuh gamelan).
wishnu menyamar sebagai ki dhalang kandha buwana (yang artinya dalang yg menceritakan perihal kehidupan di dunia), yang juga dikenal sebagai dhalang karungrungan (dalang yanng menyebarkan cinta kasih dan kedamaian). lakon yang dipentaskan oleh ki dhalang kandha buwana ini tidak jauh-jauh tentang kawruh sejatining urip, atau hakikat hidup. tentang bagaimana sebaiknya manusia hidup, apa inti dan tujuan sebuah kehidupan, bagaimana mengenali kesalahan dan memahami kebajikan. ajaran ini dimaksudkan kepada cangkupan yang lebih luas, bukan sekedar tentang bagaimana caranya agar manusia luput dari ancaman kalarandya(yang identik dengan kesengsaraan dan penderitaan), tapi lebih tentang bagaimana caranya para manusia juga bisa hamemayu hayuning buana ( menjaga kesejahteraan dunia ) yang bukan lagi hanya tugasnya para dewa.
demikianlah, pada akhirnya, meski tugas utama ki dhalang kandha buwana adalah meruwat orang-orang sukerta dan penganyam-anyam, sebagai dhalang karungrungan, ki dhalang kandha buana tetap saja mengajarkan kawruh sejatining urip kepada siapa saja yang mau mendengarkan.
syahdan, pada suatu ketika ki dhalang kandha buwana dan kawan-kawan sedang meruwat ki buyut dan istrinya, karena mereka termasuk golongan orang-orang sukerta. ki buyut dan istrinya terlahir masing-masing sebagai anak tunggal, mereka tidak memiliki saudara sekandung, atau dalam trah sukerta disebut ontang-anting bagi anak laki-laki, dan bagi anak perempuan disebut unting-unting. di tengah pertunjukan wayang purwa dengan lakon murwakala ini, menjelang tengah hari, datanglah lalang darma dan lalang darmi, dua anak kakak beradik ini sedang dikejar oleh kalarandya untuk dimakan, karena mereka pun termasuk golongan anak-anak sukerta yang disebut kedhana kedhini.
konon, lalang dharma dan lalang dharmi memang sebenarnya sedang berkelana mencari dhalang yang bisa meruwat mereka agar mereka lolos dari daftar makanan kalarandya. ditengah perjalanan mereka berdua, menjelang surya tumumpang arka, mereka bertemu dengan kalarandya. sadar bahaya yang mengancam, lalang darma dan lalang darmi bersembunyi di rumah terdekat. apa nyana, ternyata sang pemilik rumah termasuk golongan penganyam-anyam, karena rumahnya tidak memiliki tutup keyong, alias segitiga penutup di ujung-ujung atap. yang artinya si pemilik rumah tidak mengerjakan rumahnya dengan benar dan sempurna maka mereka termasuk golongan penganyam-anyam. tapi, karena rumah tersebut tanpa tutup keyong itu pula-lah lalang darma dan lalang darmi bisa meloloskan diri dari kejaran kalarandya. mereka melarikan diri lewat lubang tutup keyong yang menganga.
selama mengajar lalang darma dan lalang darmi, kalarandya telah memangsa banyak orang yang termasuk golongan penganyam-anyam. tapi kalarandya merasa belum kenyang sebelum memangsa anak-anak sukerta. melihat kalarandya yang datang di tempat ki buyut yang sedang berlangsung pertunjukan wayang, tentu saja penonton merasa sangat ketakutan. hal ini membuat ki dhalang kandha buwana merasa terganggu juga, sehingga ia menghentikan pertunjukannya, menyuruh kalarandya  untuk duduk tenang, ikut menyaksikan pertunjukan wayang yang sedang ia gelar, juga mengingatkan pada kalarandya jika waktu surya tumumpang arka telah lewat. yang artinya waktu kalarandya untuk makan sudah habis.
kemudian, ki dhalang kandha buwana melemparkan sebutir telur ke dalam mulut kalarandya yang tengah menguap lebar saat kalarandya mulai duduk dan menyaksikan pertunjukan wayang. karena sedang menguap, telur yang dilemparkan langsung tertelan dan masuk perut kalarandya, anehnya kalarandya langsung merasa kenyang dan nafsu makannya langsung hilang.ki dhalang lalu menentramkan hati kalarandya dan menyarankan kalarandya untuk terus melanjutkan menonton pertunjukan wayang yang sedang berkisah tentang “kawruh sejatining urip“. betapa terkejut kalarandya mendengar lakon tersebut. karena sejatinya itulah yang dijabarkan padanya oleh batara guru dan batara narada sebelum dia pulang ke nusatembini.
karena penasaran, kalarandya kemudian bertanya, siapa sebenarnya sosok dibalik ki dhalang kandha buwana ini. namun ki dhalang tidak menjawab pertanyaan kalarandya, tapi ki dhalang justru membeberkan kisah tentang siapa kalarandya sebenarnya, segala rahasia yang berkaitan dengan kalarandya, mulai dari proses kelahirannya yang tidak wajar, hingga ciri-ciri kelemahan kalarandya. kelemahan kalarandya yang berupa rajah kalacakra yang terdapat di dahi, dada dan punggung disentuh oleh ki dhalang kandha buwana. oleh karena hal tersebut, maka lenyaplah kalarandya, moksa (hilang bersama raganya) kembali ke alam kesempurnaan.
dalam cerita selanjutnya, kelak sosok batara kala atau kalarandya ini akan muncul kembali sebagai yaksadewa atau kaladewa yang akan membunuh resi hanoman yang sepanjang hidupnya menjaga gelembung-gelembung udara kejahatan agar tidak menyebar yang terus saja muncul dari jasad dasamuka yang terhimpit gunung mayangkara.
* demikian kisah tentang murwakala atau purwakala, konon, ini adalah kisah wayang tertua sebelum era jawa saka. merunut purwa atau murwa sendiri berarti awal. kisah ini diceritakan dan tersebar di era jawa dwipa atau era sebelum jawa saka. banyak teori yang mengatakan bahwa inilah sejatinya kisah asli dari tanah jawa sebelum mengenal adanya agama. mengingat tahun jawa saka sendiri identik dengan kehidupan agama Hindu, tahun saka atau yang kita tahu sebagai tahun hitungan dari agama Hindu sendiri, menurut beberapa kronik, adalah tarikh suryakala (perhitungan tahun kalender menurut sistem edar matahari) yang semula diambil dari tarikh jawa asli pranata mangsa yang kemudian diadopsi oleh brahmana Hindu yang berasal dari india ke tanah jawa yang bernama aji saka. kemudian dari aji saka inilah kita mengenal tahun jawa saka.
orang-orang sukerta atau anak-anak sukerta banyak sekali macamnya, ada beberapa kronik yang menuliskan dengan jumlah berbeda. mungkin diantara masyarakat kita yang beredar adalah yang umum saja, seperti ontang-anting, untang-unting, uger-uger lawang, kedhana kedhini, kembang sepasang, sendang kapit pancuran, pancuran kapit sendang, cukit dulit, gotong mayit, keblat papat, saramba, sarimpi, ipil-ipil, dampit, jampina dan sebagainya.
sementara golongan penganyam-anyam yaitu:
penganyam-anyam laki-laki adalah orang-orang yang melakukan suatu pekerjaan tapi tidak sempurna karena tergesa-gesa atau tidak selesai pekerjaannya, sehingga mesih ada kekurangan atau kesalahan yang berakibat mengganggu manfaat, fungsi dan hasil.
sementara golongan penganyam-anyam perempuan adalah mereka yang kurang berhati-hati dalam bekerja sehingga menyebabkan banyak kerugian materi.
sebenarnya, kalau mau dijabarkan satu-persatu, tidak bakalan habis waktu sepanjang hidup, karena sejatinya, inti dari kawruh sejatining urip itu tak pernah lepas dari nyinau, nggagas dan nyipta atau momot, momong dan hamemangkat. dan kalau sudah menyangkut hal tersebut, istilahnya, cerita sepanjang hayat hidup. mungkin lain kali akan ada bahasan lebih lanjut  :)
sumber : http://sejarah.kompasiana.com/2014/12/16/lakon-murwakala-710608.html 
 

Kisah Bremana - Bremani

Kisah Bremana - Bremani

 

Dalam pertemuan antara Hyang Guru, Narada, dan Endra Brama,
berkatalah Hyang Guru kepada Brama,” Kamu jadilah besan dengan Wisnu adikmu. Brama mempunyai anak laki-laki, Wisnu mempunyai anak perempuan.”

Brama menjawab, “Ya”.

Hyang Guru berkata kepada Narada, “Kamu yang memberi perintah kepada Wisnu, Brama yang ikut.” Lalu mereka berangkat ke Ngutara Sagara. Beralih ke Mendangkumuwung, Maharaja Pulagra mengirim utusan ke Ngutara Sagara, yang diutus Kalagatu dan Kalagatuka dengan diberi surat pelamar. Di istana Ngutara Sagara, Batara Wisnu dan putranya Raden Srigati datang bercengkerama lalu datanglah berita utusan dari Mendang kumuwung datang berkunjung dengan membawa surat lamaran. Batara Wisnu sudah mengetahui maksudnya,  lalu memerintahkan Raden Segati untuk menyambut tamu tersebut, katanya,” Srigati, turunlah, suruh pulang utusan itu!”

 Setelah putranya pergi, datanglah Narada dan Brama. Setelah saling bertegur sapa, Narada lalu berkata,” Saya membawa perintah dari Hyang Guru. Kamu disuruh berbesanan dengan kakakmu di Brama, anakmu Sri Unon kawin dengan Bremana.”

Wisnu menjawab,” Ya saya patuhi.”

Narada berkata,” Apa Karingkes atau Karowo?”

Wisnu menjawab,” Saya singkat saja, tapi saya akan bujuk saja acara panggihnya.”

Hyang Narada berkata kepada Batara Brama,” Brama sudah pulanglah! Anakmu si Bremana, ajaklah kemari.”

Lalu berangkatlah Brama. Sementara itu, raksasa utusan Maharaja Pulagra, Kalagatu dan Kalagatuka, menunggu-nunggu bagaimana jawaban surat lamaran. Tidak berapa lama datanglah Raden Segati.

Ia berkata,” kamu tidak diperkenankan menghadap, diperintahkan untuk pulang saja dari sini.” Lalu duta tersebut bersikeras menghadap. Terjadilah perkelahian dimana Segati akhirnya kalah. Lalu Srigati membuat surat jawaban kepada duta tersebut.
“Surat ini berikan kepada Rajamu.”

Semoga kehendak Kanjeng Rama sudah ada di surat ini,” kata Srigati.

Konon cerita, gara-gara gejolak Samodra Gambiralaya, seperti gemuruhnya kawah Candradimuka, gonjang-ganjing ekornya Sang Antaboga gempa tujuh kali sehari. Mletuk Keragalah, mengakak suaranya, Hyang Antaboga lalu Semar Petruk, Nalagareng, setelah kelakar lalu menghadapi satwa yang diasuhnya. Adalah Bambang Bremani, di pertapaan Saptarengga lalu,berkunjung ke Gilingwesi melalui udara. Semar, Petruk, Nalagareng terbang mengikuti, setelah itu bergurau di Gilingwesi, Raden Bremana dan Bremani sudah ada di istana.

Dalam percakapan tersebut datanglah ayahanda Batara Brama yang lalu duduk di Singgasana. Raden Bremana dan Bremani datang menghaturkan sembah. Kata Batara Brama kepada kedua puteranya,

” Kamu diperintahkan untuk kawin oleh Batara Guru dengan puteri Betara Wisnu bernama Sri Unon.”

Bremana mengatakan tidak mau, meskipun Batara Brama berkali-kali memintanya dengan memaksa, namun Bremana bersikukuh tidak mau dan menyarankan adiknya Bremani menikah.

Lalu Batara Brama berkata,” Kamu Bremani, kawinlah. Itu atas permintaan kakakmu.”

“Saya takut kalau melangkahi kakanda,” jawab Bremani.

“Saya ikhlas kamu melangkahi aku,” kata Bremana.

Sementara itu, di istana Ngutara Sagara, Raden Srigati menghadap ayahnya Batara Wisnu dan menyampaikan kekalahannya berperang dengan utusan.

“Duta saya datangi lalu saya suruh pulang tapi tidak mau. Sehingga akhirnya terjadi perang. Saya kalah. Lalu saya membuat surat jawaban yang dapat meredakan amarah, sekarang persoalan ini saya serahkan Kanjeng Rama.”

Setelah mendengar laporan Raden Srigati, Hyang Wisnu menjadi susah hatinya. Tidak berapa lama datanglah kakaknya Batara Brama dan Batara Narada.

Mana anakmu, si Bremana?” tanya Batara Narada kepada Batara Brama.

“Mohon maaf, cucunda yang tua tidak mau kawin, cucunda yang muda mau. Saya serahkan kepada Batara Narada,” jawab Batara Brama.

“Aku tidak kuasa menentukan, sekarang terserah Wisnu  yang punya anak.

Sekarang bagaimana?”balas Batara Narada.

“Iya saya terima tetapi saya membuat sayembara. Siapa yang bisa membunuh Raja di Mendangkumuwung, Si Pulagra, itu yang menjadi menantuku,” kata Batara Wisnu.

“Iya, Adi, saya tanyakan Bremani kalau mau?” kata Batara Brama yang lalu memanggil anaknya Bremani. Bremani menyanggupi lalu minta izin menjalankan sayembara diiringi Semar, petruk dan Gareng.

Di Mendangkumuwung, Raja Pulagra sedang berdialog dengan patih raksasa, yaitu Kalasiya, Kaladaru, Kalasrana serta Kalapeksa. Dengan harap cemas mereka mendengarkna hasil utusan Kalagatu dan Kalagatuka. Perjalanan saya berdua sampai di Ngutara Sagara, namun dihentikan Raden Segati. Saya tidak mau, harus masuk kraton lalu terjadi perang, tidak berapa lama Srigati kalah lalu saya mendapat surat jawaban atas nama Raja Ngutara Sagara. Ini isi suratnya.”

Surat diterima Sang Pulagra lalu dibaca setelah dibaca tertawalah Raja Pulagra. “Aneh betul permintaan para Dewa, tidak mau dibeli dengan mas picis, harus dibeli dengan perang, makanya kamu diterima dengan perang,” kata Sang Pulagra.

“Sekarang ini sudah tidak ada apa-apa. Besok di hari Buda Cemengan, saya diminta datang dengan prajurit. Sekarang Buda paing, setiap buda ini adalah hari arak-arakan. Sekarang kamu menanggap tayub, tandak, buatlah gunungan, gunungan madat, gunungan apyun, serta gunung keling, gunung cupu, gunung kepet, dan gunung alas-alasan. Berilah lutung beneran, besok hari Buda Wisa harus sudah jadi,” perintah Sang Pulagra.

Kemudian mereka bubar dan masuk ke dalam Kraton Pulagra. Tidak lama kemudian Raden Bremani datang ke istana Sang Pulagra. Mereka bertemu membuat Pulagra terkejut dan bertanya,” Kamu siapa? Berani datang kemari tanpa diundang?”

“Aku ini dewa utusan Hyang Wisnu?” jawab Bremani.

“Diutus apa? Apa disuruh mempercepat kedatanganku?” tanya Pulagra.

“Saya kemari diutus meminta kepalamu,” jawab Bremani.

Raja Pulagra marah besar. Lalu menubruk Bremani namun tidak kena karena hanya menubruk bayangannya saja. Pulagra memanah namun dengan sigap Bremani mengambil panah penalak lalu lenyaplah panah Pulagra. Pulagra melempar senjata Kunta, Raden Bremani menolaknya. Pulagra memegang muksala juga sirna lalu setelah habis senjatanya, Raden Bremani membalas dengan panah Sarutama dan mengenai dada Pulagra hingga tewas. Raden Bremani lalu mengiris telinga kanan Pulagra dan pergi bersama punakawan.

Seperginya mereka, para nyai raksasa menangis melihat gustinya mati. Di luar raksasa yang baru bersenang-senang menari tayub dikagetkan dengan datangnya para nyai raksasa yang menangislalu melaporkan kepada Patih Pulasiya. Para raksasa yang sedang bersenang-senang lantas hening mendengar kematian rajanya. Pulasiya marah dan segera menghimpun prajurit dengan membawa segala alat perangnya.

Dengan diiringi bunyi-bunyian perang lalu bergerak menuju Ngutara Sagara. Didepan raksasa Kaladaru beserta prajuritnya. Kalasara dengan bergadanya, Kalajeksa, Kalagatu, Patih Pulasiya dan Raden Pulasiya menaiki gajah. Di asrama, Batara Wisnu, Narada, Brama, Srigati menerima kedatangan Raden Bremani yang menyerahkan telinga kiri Pulagra sebagai bukti telah mengalahkannya. Hyang Wisnu menerimanya. Setelah itu dikawinkanlah Bremani dengan Dewi Sri Unon hari itu juga.

Setelah sepekan lalu mereka pulang ke istana Hyang Brama dimana saat itu Dewi Sri Unon sedang mengidam. Setelah Srigati mengantarkan saudaranya, lalu singgah di istana Gilingwesi bertemu dengan Raden Bremana dengan patihnya Raden Ekapramana.

Dalam percakapan mereka, datanglah Hyang Brama kemudian duduk bersila. Lalu Raden Bremani dan istrinya memberi salam dan menyembah kakaknya,.Raden Bremana. Setelah acara penghormatan selesai, Hyang Brama dan Srigati pulang, sedang Raden Bremani masih tinggal. Raden Bremana terkesima melihat kecantikan Dewi Sri Unon dan merasa menyesal. “Kalau tau Dewi Sri Unon seperti itu, tentu tidak rela aku menyerahkan pada adikku,” kata Bremana dalam hatinya.

Raden Bremani tahu isi hati kakaknya, Raden Bremana. Setelah sepekan, Raden Bremani, Dewi Sri Unon dan punakawan minta diri ke Gunung Saptarengga. Setelah sembilan bulan, lahirlah anak laki-laki. Ketika bayinya berumur 40 hari, istinya, Dewi Sri Unon dicerainya.

“Salah saya apa?” tanya Dewi Sri Unon.

“Kamu tidak salah.

Saya hanya menjalankan perintah dewa hanya menurunkan satu anak, tidak boleh dua,” kata Bremani.

Dewi Sri Unon pasrah. Jabang bayi dibawanya lalu singgah di Gilingwesi. Raden Bremana di Gilingwesi kedatangan adiknya, Raden Bremani.

Setelah bersalaman Raden Bremani berkata, “Istriku sudah melahirkan anak lelaki tetapi belum saya beri nama. Dewi Sri Unon sudah saya cerai dan akan saya kembalikan ke Ngutara Sagara.

“Ya, Adi. Saya ikut mengantarkannya,” kata Bremana.

Lalu mereka berangkat. Singkat cerita. Batara Wisnu dan Raden Srigati mengerti kalau sedang didatangi para raksasa dari Mendangkumuwung yang membela rajanya yang mati terbunuh. Mereka dipimpin Raden Pulasira dan para prajuritnya.

Tidak berapa lama datanglah Raden Bremani dengan rombongannya, Di hadapan ayahnya, Dewi Sri Unon bersembah dan pingsan dipangkuannya lalu dibawa masuk ke istana.

“Ini ada apa? Mengapa kamu datang dengan kakakmu Bremana,” tanya Batara Wisnu kepada Bremani.

“Saya menghadap Hyang Wisnu mau menyerahkan kembali Dewi Sri Unon.

Sudah saya ceraikan sebab saya tidak boleh mempunyai anak lebih dari satu,” terang Bremani.

“Baiklah,”kata Batara Wisnu.

“Saran saya, kalau boleh Dewi Sri Unon dikawinkan dengan kakah saya Bremana,” kata Bremani.

“Baiklah, tetapi dengan satu permintaan. Kalau kakakmu dapat membasmi para raksasa dari Mendungkumuwung dengan para prajurit.

Lalu Bremana dan Bremani berembug.”Iya, Adi. Saya sanggup.

Katakanlah kepada Hyang Wisnu. Raden Bremani berkata kepada Hyang Wisnu,” Ya, Sanggup.” Raden Bremana kemudian berperang dengan Kalasarana. Kalasarana lenyap bersama-sama prajuritnya setelah dipanah Bremana. Lalu Kaladaru datang dan dihadang Bremani dengan senjata Prabawa. Lenyaplah Kaladaru bersama pasukannya. Kalagatuka yang berhadapan dengan Bremana lenyap bersama pasukannya setelah terkena senjata Prabowo Bremana.

Berikutnya Kalayaksa sirna setelah dipanah dengan senjata Naraca Bala oleh Bremana. Patih Raksasa Pulasta menghadapi Raden Bremani. Pulasta memanah dengan senjata Kunta. Bremani memanah penolaknya hingga senjata Pulasta lenyap. Bremani memanah dengan panah air Bramastra maka hilanglah panah Pulasta. Bremani lalu memanah dengan rantai kepala Naga. Pulasta terikat rantai,

Pulasta berupaya melepaskan diri tetapi rantainya semakin mengecil sehinggi Pulasta terpedaya.

“Kamu mau hidup apa mati?” tanya Bremani.

“Saya minta hidup. Saya sudah takluk,” kata Pulasta.

“Ya saya terima taklukmu. Tetapi kamu harus pergi dari Medangkumuwung.

Kamu saya beri tanah di Lokapala serta kamu bersemedi disana,” perintah Bremani.

Pulasta menurut. Lalu pamit. Bremana dan Bremani lalu pulang ke Ngutara Sagara. Mereka menyampaikan kepada Wisnu, musuh sudah sirna. Lalu Bremana dikawinkan dengan Dewi Sri Unon. Setelah sepekan Bremana memanggil Bremani.

Tanah Jawa saya serahkan padamu. Aku akan bertempat tinggal di atas angin,” kata Bremana. Bremana beserta istri, Bremani dan punakawan kemudian bertamu kepada Batara Wisnu. “ketahuilah, saya akan berdiam diri diatas angin dan tanah Jawa saya serahkan kepada adik saya,” kata Bremana.

“Ya. Saya setuju,” kata Wisnu.

Kemudian Bremana berkata kepada adiknya, Bremani,” Sudahlah, Adi, yang pandai-pandai saja mengurus negara. Saya pinjam tiga pusakamu, Sarotama, Arya Sengkali dan Roda Dedali.” Bremani tidak keberatan untuk menyerahkan ketiga pusaka tersebut kepada kakaknya.

Bremana lalu pamit serta minta restu kepada ayahnya. Lalu berangkat bersama istrinya. Anaknya diserahkan kepada Raden Bremani. Bremani berkata kepada ayahnya,”Ayah, tolonglah beri nama cucumu ini.”

Hyang Wisnu melihat cucunya kemudian memberi nama Bambang Parikenan. Setelah itu Hyang Wisnu pamit pulang ke Gunung Saptarengga. (http://jogjanews.com/bremana-bremani)

====

Dari perkawinannya dengan Prabu Bramana beberapa tahun kemudian Dewi Sri Unon melahirkan seorang putri cantik, Dewi Bremanawati, yang kemudian diperistri oleh Prabu Banjaranjali, raja Alengka.

Sri Wisnu Krama


 


Sri Wisnu Krama

 
 Sang Hyang Pramesti Guru, akan mengawinkan Batara Wisnu dengan Dewi Pratiwi, putri Batara Ekawara dari Kahyangan Ekapratala. Untuk melaksanakan niat tersebut Batara Guru mengutus Batara Narada untuk menjemput Dewi Pratiwi. Namun ternyata Dewi Pratiwi menolak jemputan itu karena ia mempunyai permintaan atau syarat, ia hanya akan kimpoi dengan pria yang dapat membawakan bunga Wijayakusuma.
Sementara itu pada suatu malam Endang Sumarsi putri Begawan Kesawasidi dari Pertapaan Argajati – bermimpi kimpoi dengan Batara Wisnu.

Pagi harinya ia minta kepada ayahnya agar mencarikannya orang yang menjadi idamannya itu. Sang Begawan menuruti permintaan putrinya, pergi mencari. Tak berapa lama kemudian Begawan Kesawasidi bertemu dengan Batara Wisnu yang diiringi oleh Semar, Gareng dan Petruk. Kesawasidi mengutarakan maksudnya, tetapi ternyata Batara Wisnu menolak. Baru setelah dengan kekerasan, Wisnu menuruti kehendak Kesawasidi.

Setelah tiba di Pertapaan Argajati, Batara Wisnu segera dikimpoikan dengan Endang Sumarsi. Setelah beberapa hari tinggal di pertapaan, Batara Wisnu mengatakan kepada mertuanya bahwa ia mencari bunga Wijayakusuma dan minta pertapa itu membantunya. Sang Kesawasidi yang memiliki bunga itu tidak keberatan dan memberikan Wijayakusuma sebagai sarana untuk mengawini Batari Pratiwi.

Setelah Batara Wisnu mendapatkan bunga Wijayakusuma, segera menuju Ekapratala.
Sementara itu Prabu Wisnudewa, raja raksasa dari Garbapitu juga melamar Batari Pratiwi. Setelah mendengar laporan patihnya bahwa calon mempelai putri menginginkan bunga Wijayakusuma, ia sangat bergembira, sebab sang Raja mempunyai banteng yang berwarna biru hitam pada lehernya terdapat cangkok/cabang dari bunga Wijayakusuma.

Karenanya ia segera berangkat ke Kahyangan Ekapratala. Namun, betapa kecewanya karena setelah tiba di Kahyangan Ekapratala, ternyata Batari Pratiwi
telah dikimpoikan dengan Batara Wisnu. Hal ini membuat Prabu Wisnudewa murka.

Bersama bala tentaranya, Prabu Wisnudewa menyerang serta berusaha merebut Batari Pratiwi. Peperangan terjadi, Prabu Wisnudewa dan banteng yang aneh dapat dibunuh Wisnu dan keduanya menyatu (merasuk) pada tubuh Wisnu. Demikian pula, Cangkok Wijayakusuma akhirnya menyatu dengan bunganya.

Sri Mantuk

Sri Mantuk

 

Syahdan beberapa negara dilanda malapetaka. Dewa bersabda kepada para raja negara- negara yang tertimpa kenistapaan bahwa mereka akan dapat terhindar dari bahaya dan menjadi subur makmur negaranya, jika dapat membawa Dewi Sri. Berkatalah Prabu Matswapati kepada para putra, Hai Seta, Wratsangka, dan Utara, pergilah kalian sekarang juga ke negara Astina. Sampaikanlah permintaanku, agar Prabu Kresnadipayana berkenan untuk datang ke negara Wirata. Itulah sabda dewa kepadaku, dan jangan lupa membawa Dewi Sri ke Wirata. Usahakan jangan sampai tak terlaksana. Berangkatlah ketiga putra Prabu Matswapati ke Astina. Di negara Astina Prabu Kresnadipayana menerima ketiga putra Wirata. Datang juga di Astina Resi Nagatatmala, putra Hyang Anantaboga, dari Saptapretala. Berkatalahlah Prabu Kresnadipayana, Wahai adinda Seta, Wiratsangka dan Utara, sampaikanlah pesanku kepada Raja Wiratha, segala permintaannya kusanggupi. Segera pulanglah ketiga putra Prabu Matswapati ke Wiratha. Adapun Resi Nagatatmala dipesan oleh Prabu Kresnadipayana, Hendaknya putraku Nagatatmala, mencari, Dewi Sri, dan sesudah kau dapati bawalah dia ke negara Wiratha. Aku akan menemui ayahdamu di Saptapretala. Resi Nagatatmala mundur untuk mencari Dewi Sri, diiringkan oleh ketiga abdinya, Semar, Nalagareng dan Petruk.

Pratalaretna, dengan Rajanya Prabu Darmasara sedang dirundung malang, karena kehadiran Dewi Sri di negara tersebut mengundang kerumitan masalah. Banyak raja yang melamar Dewi Sri kalau ditolak, tak lain ancaman yang datang. Pada suatu hari, berkumpulah Prabu Darmasara, dengan istrinya, Dewi Darmawati, dan putranya Dewi Darmarini, serta Dewi Sri. Mereka sedang menerima untuk menyampaikan permintaannya tersebut kepada Raden Sadana. Berangkatlah Resi Nagatatmala menemui Raden Sadana, segala permintaannya diceritakan, namun oleh Raden Sadana ditolak, sehingga terjadilah perang. Raden Sadana dapat dikalahkan oleh Resi Nagatatmala. Kepada Dewi Sri, segala hal ihwal diceritakan, akhirnya Resi Nagatatmala diambil putra oleh Dewi Sri. Dewi Darmarini juga diambil putra, keduanya lalu dikimpoikan. Bersukacitalah Prabu Darmasara berserta istrinya, apalagi musuh yang mengancam negara Pratalaretna sudah dapat dikalahkan oleh Patih Jayalegawa. Dewi Sri, dengan diiringi oleh Raja Pratalaretna beserta istri berangkat ke Negara Wiratha. Resi Nagatatmala melanjutkan perjalananya ke Astina, untuk memboyong Prabu Kresnadipayana. Di Negara Wiratha Prabu Matswapati menerima banyak tamu: Dewi Sri bersama Prabu Darmasara dan istrinya, Dewi Darmarini istri Resi Nagatatmala, Prabu Kresnadipayana, dan juga Resi Kanekaputra, yang diutus oleh Hyang Girinata. Para putrapun telah menghadap raja. Berkatalah Hyang Narada, Kaki Prabu Matswapati, bahagialah anda beserta seluruh warga negara Wiratha, Dewi Sri telah berada di Wiratha, aku datang kemari, tak lain hanya membawa Resi Nagatatmala ke kahyangan. musuh telah mengancam. Raja Guwarejeng, Prabu Suryakumala, memaksakan diri meminta bidadari Dewi Warsini, untuk diperistri. Hyang Guru tak mengizinkannya. Sang Prabu Matswapati sangat bersukahati dapat membantu para dewa, direlakanlah Resi Nagatamala Ke kahyangan beserta resi Narada dan Hyang Bayu. Sepeninggal para dewa, laporan masuk ke istana Wiratha, musuh menyerang. Oleh sang raja diperintahkan segala prajurit menghadapinya. Ternyata prajurit dari Guwarejeng tumpas habis, Prabu Suryakumala dan Sasradewa mati oleh Prabu Kresnadipayana. Sisa prajurit dari Guwarejeng yang masih hidup melarikan diri. Bersukacitalah seluruh istana Wiratha merayakan kemenangan.

Kisah Sri Maha Punggung


 


Kisah Sri Maha Punggung

 Raden Sadana, di Dukuh Medhangagung, dengan dihadap oleh pengasuhnya: kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang, sedang menerima kedatangan kakandanya, Dewi Sri. Berkatalah Dewi Sri, Duhai, dinda Srisadana, istana Medhangkamulan kutinggalkan, sebab ayahanda Srimahapunggung murka kepadaku, karena menolak kehendak beliau akan mengawinkan aku dengan dengan prabu Pulagra dari kerajaan Medhangkumuwung. Memang sudah menjadi tekadku, tidak akan melayani priya, jika sekiranya tidak sebanding dengan keadaan dinda sendiri. Selanjutnya juga diberitahukan bahwa prajurit-prajurit dari Medhangkumuwung masih mengejarnya, untuk itu kepada Srisadana diperintahkan untuk bersiap-siap menghadapinya. Musuh yang mengejar Dewi Sri, sesampai di dukuh Medhangagung, dapat dikalahkan oleh Raden Sadana. Dewi Sri juga menyejui kehendak adiknya untuk bertempat tingal di hutan Medhangagung. Untuk itu Raden Sadana perlu pergi menemui buyut Sondang di dhukuh Medhanggowong. Pergilah Raden Srisadana diikuti oleh ketiga abdinya, kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang.

Sesampainya di dhukuh Medhanggowong, pesan Dewi Sri disampaikan kepada buyut Sondang. Ki buyut diharap datang di Medhangagung dengan membawa bekal benih palawija, bibit kelapa, lombok dan terong. Kepada buyut Sondhang, Raden Srisadana mengatakan akan melanjutkan perjalanannya menuju ke Medhangtamtu, ke tempat kyai buyut Wangkeng.




Setelah siap semuanya buyut Sondhang berangkat dengan isteri dan segenap buyut-buyut Medhanggowong, menuju ke Medhangagung. Dewi Sri menerima kedatangan Raden Sadana, yang melaporkan tugas untuk membebaskan ki Wangkeng telah diselesaikan. Buyut Wangkeng dan isterinya pun telah bersama-sama menghadap sang Dewi Sri. Juga buyut Sondhang, istrinya, dan lain-lainnya telah berada di Medhangagung. Para prajurit yang dikalahkan oleh raden Sadana kembali lagi di bawah pimpinan rajanya sendiri, ialah prabu Plagra. Buyut Wangkeng, buyut Sondhang, dan semua warga dhukuh Medhangagung berusaha mengalahkannya, perang terjadi sangat ramainya. Hyang Narada, memerintahkan kepada Hyang Bayu untuk membunuh Prabu Pulagra. Terbunuhlah raja Medhangkumuwung. Kepada Dewi Sri, Hyang Narada bersabda, Hai, puteraku Dewi Sri, atas kehendak Hyang Girinata, jika kau menyetujuinya, maukah kau dikimpoikan dengan adikmu raden Sadana?, Oleh Dewi Sri saran Hyang Narada tersebut dengan rendah hati ditolak. Kembalilah para dewa ke kahyangan, bersuka citalah Dewi Sri.

Kisah Prabu DremaMikukuhan



Prabu DremaMikukuhan

 Di negara Purwacarita, juga disebut Medhangkamulan, prabu Dremamikukukan berkata kepada patih Jakapuring, ” Wahai para abdi Medhangkamulan, Hyang Narada telah berkenan memberikan segala biji tumbuh-tumbuhan, atas perintah beliau, hendaknya biji-biji tumbuh-tumbuhan tersebut, dapat ditanam dan disebarluaskan di seluruh pelosok desa-desa,” patih Jakapuring segera memohon diri untuk mengerjakan perintah raja.

Syahdan, semua tanaman telah tumbuh baik, banyak gangguan datang, burung-burung memakan tanaman, segera dihalau dan dibunuh kalau merusak tanaman, demikian pula binatang-binatang datang pula mengganggunya, tapi tak segan-segan dihalau pula binatang perusak itu. Hyang Girinata sangat bersyukur dan bersuka cita, atas keberhasilan Prabu Mikukuhan menanam benih-benih tumbuh-tumbuhan, demikian segala sesuatunya yang dilaporkan oleh Hyang Pritanjali dan Hyang Tantra.

Pada suatu ketika, semua tanaman diganggu dan dirusak oleh putut Jantaka dari Gunung Andaga, dan pengikut-pengikutnya, prabu Mikukuhan dengan dibantu oleh putera-putera adiknya, ialah Bagawan Kanda dan adiknya Bagawan Nada, dapat memberantas segala hama yang melanda tanam-tanamannya.

Raden Sengkan dan Raden Turunanlah yang diperintahkan oleh ayahnya membantu Prabu Mikukuhan mengusir semua hama yang merusak tanaman-tanaman tersebut, di samping Nayungyang dan Candramana. Demikian pula, Hyang Endra memberikan gamelan Surendra kepada prabu Mikukuhan.

Adapun Putut Jantaka setelah takluk dan bertobat, oleh prabu Mikukuhan telah diberi kelonggaran, kepada anak-anakanya, yakni yang berwujud kerbau dan sapi kelak menjadi sarana pembantu para petani menggarap sawahnya, untuk itulah mereka diberi makan. Amanlah dukuh Dadapan dari serangan hama, tak lain adalah anak-anak putut Jantaka, demikian pula biji tumbuh-tumbuhan hidup tersebar di desa-desa, negara Medhangkamulan makmur.

Kisah Dewi Mumpuni


 


Kisah Dewi Mumpuni

Seorang yang bertubuh tinggi besar, dengan tatapan mata tajam dan jarang berkedip. Seorang yang dilahirkan dari keturunan para dewa, yang telah digariskan bahwa dia terlahir sebagai sosok yang sangat dingin, tanpa hati dan perasaan. Dan karena sifat asli itulah, maka Sang Batara Guru menganugerahinya dengan seorang istri bidadari yang cantik cantik jelita, keturunan para dewa pula. Dewi Mumpuni, itulah nama sang bidadari yang kini menjadi istri tercintanya.

Namun hati tak dapat dipaksakan, dan anggukan di kepala hanya sebuah ungkapan tanda bakti dan hormat kepada orang tua, sehingga Dewi Mumupuni bersedia menjadi istri sang lelaki gagah perkasa itu. Dalamnya laut dapat diduga, namun dalamnya hati, siapa yang kira. Dewi Mumpuni sama sekali tak menyintai laki laki yang kini menjadi suaminya. Hatinya kosong,dan gersang bagai sebuah taman tanpa bunga, tanpa air kehidupan.

Suatu saat, berkunjunglah Bambang Nagatamala, putra dari Sanghyang Antaboga, dewa penguasa alam dalam bumi. Dan secara tak sengaja, Nagatamala bersua dengan Dewi Mumpuni. Masing masing tertesona akan keindahannya, dan jatuhlah kedua hati makhluk tersebut dalam sebuah bejana cinta. Hmmmmmm…….
Perasaan mereka semakin kuat, hingga suatu saat mereka mengatur rencana untuk pergi meninggalkan Kahyangan Hargodumilah untuk hidup bersama, di luar sepengetahuan lelaki perkasa itu. Dan rencana yang telah matang segera dilaksanakan. Namun rencana itu tak semulus yang dipikirkan. Seorang abdi mengetahuinya dan segera berlari untuk menyampaikan peristiwa memalukan tersebut, kepada yang berhak, yaitu seorang dewa, raja, dan sekaligus sang suami dari Dewi Mumpuni.

Raut mukanya, sang raja itu, mendadak berubah menjadi merah padam, matanya menatap tajam seseorang yang duduk bersimpuh dihadapannya dengan muka tertiunduk mohon ampun, belas kasihan. Seorang abdi istana telah melaporkan kejadian minggatnya istri tercinta, dengan sorang laki laki bernama Nagatamala. Bagaimaan ini bisa terjadi? Mendadak sontak tubuhnya yang tinggi besar itu terangkat ke angkasa dan melesat terbang, meninggalkan Kahyangan Hargodumilah, dan memburu seorang yang dianggapnya seorang durjana. Menuju istana Saptapratala, tempat kediaman Nagatamala.

Disana, dijumpainya sang istri sedang berdua dengan Nagatamala, maka perkelahian antara dua dewa pun tak terelakkan. Pertempuran yang dahsyat di atas langit itu, hingga membawa perbawa hingga ke bumi. Samudera menggelegak, angin topan mengamuk, hingga pohon pohon pohon tumbang, dan air hujan tiba dengan begitu derasnya.

Melihat peristiwa itu, Sang Batara Narada turun tangan dan melerai pertikaian. Dilihatnya Dewi Mumpuni tak bergeming, masih duduk di dekat singgasana Nagatamala. Maka, dapat dipastikan bahwa disitulah hatinya tertambat, tidak dengan suaminya. Batara Narada pun kemudian menjelaskan bahwa sudah merupakan takdir, bahwa Dewi Mumpuni merupakan pasangan dari Nagatamala. Maka, laki laki itu, suami dari Dewi Mumpuni, yang bergelar Sanghyang Yamadipati, harus merelakannya.

Dengan muka tertunduk, dan hancurnya segenap bahagian dari hatinya, Sanghyang Yamadipati pun mundur, terbang meninggalkan Kahyangan Saptapratala. Sedangkan sang istri, Dewi Mumpuni, tetap singgah di Saptapratala dan menjadi istri Nagatamala.

Betapa hancur perasaan Sanghyang Yamadipati. Istri yang sangat dicintainya, ternyata selama ini sama sekali tak menaruh hati padanya. Pergilah dia melalang buana, hingga beberapa warsa, Istana Hargodumilah kosong ditinggalkannya.

Sanghyang Yamadipati tetap melakukan kewajiban yang diembannya, sebagai dewa pencabut nyawa. Dalam perjalanan pengembaraannya, hatinya yang kosong dan hampa, menuntunnya pada sebuah perintah untuk mencabut nyawa seorang bernama Setyawan, seorang putra dari Brahmanaraja negeri Syalwa. Dia terbang mencari seorang yang bernama Setyawan, dan dengan kesaktiannya, tak sulit untuk segera menemukannya. Seorang jujur dan lurus, namun karena kehendak dewata, usianya harus sampai disini.

Masih kurang empat hari, saat Yamadipati harus mencabut nyawanya. Dan selama itu pula, Yamadipati selalu memperhatikan gerak gerik Setyawan. Satu hal yang sangat menarik perhatian dan menggugah hatinya, dimana disisi Setyawan, selalu terdapat seorang yang cantik jelita, dan berbudi luhur, serta sangat saying dan setia kepada Setyawan. Putri itu ternyata istrinya, yang bernama Sawitri.
Selama 3 hari menjelang kematian Setyawan, Sawitri melakukan puasa dengan berdiri tegak selama 3 hari 3 malam. Hari keempat, dimana hari itulah saat Setyawan harus mati, Sawitri mengikutinya kemanapun Setyawan pergi.

Pada saat mereka berdua pergi ke hutan, Sawitri mengikutinya dari belakang. Dan pada saat Sawitri mengumpulkan buah buahan sedangkan Setyawan membelah kayu kayu kering, mendadak dari wajah Setyawan mengalir deras peluhnya, dan tubuhnyapun terasa dingin. Setyawan berjalan pelan menghampiri Sawitri, untuk minta dipeluknya, hingga hangat tubuhnya.

Saat itu, teringatlah Sawitri akan pesan Batara Narada sewaktu dia menjatuhkan pilihannya untuk berusamikan Setyawan. Saat inilah rupanya kematian itu dating. Dan turunlah Sanghyang Yamadipati yang sejak dari 4 hari sebelumnya mengikuti dan mengamati. Dengan muka yang merah,mata menatap tajam,dan sebuah jerat melingkar di tangan kanannya, tahulah Sawitri bahwa yang dihadapinya adalah Sanghyang Yamadipati, dewa pencabut nyawa.

Saat dibawanya tubuh Setyawan oleh Sanghyang Yamadipati, Sawitri pun mengikutinya. Beberapa kali Yamadipati menyuruhnya untuk pulang, namun Sawitri tak bergeming sedikitpun. Yamadipatipun kehabisan akal, dan bertanyalah ;

“apa yang kau inginkan sawitri? Katakana, asal jangan minta suamimu hidup kembali”
“kemanapun suami hamba pergi, disitulah hamba berada. hamba minta kekuasaan dan kesehatan ayah mertua hamba dikembalikan seperti semula.”
“baik, aku kabulkan. Sekarang pulanglah, sebelum payah”
“hamba tak akan payah selama hamba berdampingan dengan suami yang jujur dan berbudi luhur”
“apa lagi yang kamu ingin Sawitri?”
“hamba mohon diberi 100 orang putera dan hidup di suatu kerajaan yang sejahtera, bahagia dan sempurna”
“baik, akan ku kabulkan. Sekarang pulanglah…”
“bagaiamana hamba bisa berputera 100 orang bila hamba tak bersuami? Tak ada gunanya hidup panjang dan bahagia bila tak ada suami di sisi hamba. Maka, hidupkan suami hamba….”

Mendengar perkataan itu, Yamadipati tertegun sejenak. Sekilas pikiranya melayang ke belakang, kepada sebuah peristiwa beberapa warsa lalu, saat dia ditinggalkan oleh istri tercintanya, Dewi Mumpuni.

“Andai kesetiaan Dewi Mumpuni seperti ini……….” Hatinya berbisik.

Tak terasa pipinya basah, air bening keluar dari kedua kelopak matanya.nafasnya tersendat, tenggorokannya kering.

“Sawitri, kesetiaanmu tiada tara…..”bisiknya dalam hati.
“Baik Sawitri, ku lepaskan nyawa suamimu, dan hiduplah kembali. Berbahagialah dengan suamimu, Setyawan, dan akan kuberi usia 100 tahun…”

Dan Yamadipatipun kemudian menghilang, terbang ke angkasa, dengan meninggalkan aroma wangi di sekeliling tubuh Setyawan.

Dan mereka berdua pun akhirnya hidup dalam bahagia, dengan 100 orang putera yang gagah laghi tampan.

Sanghyang Yamadipati pun tersenyum dalam tangis…….

Kisah Prabu Watugunung


 


Kisah Prabu Watugunung

 Prabu Watugunung seorang raja di Gilingwesi. Menurut riwayatnya, ia seorang putera, raja Prabu Palindriya, tetapi waktu ia masih dalam kandungan, ibunya, yang bernama Dewi Sinta, meninggalkan istana karena dimadu dengan saudaranya sendiri. Dalam perjalanan di tengah rimba, Dewi Sinta bersalin seorang anak laki-laki dan diberi nama Raden Wudug. Suatu kali waktu Raden Wudug masih kanak-kanak ia dimarahi oleh ibunya dan kepalanya dipukulnya dengan centong hingga luka. Karena itu Raden Wudug meninggalkan ibunya dan berganti nama Radite.

Kemudian Raden Radite berhasil menyadi raja di Gilingwesi, karena kesaktiannya, dan bergelar Prabu Watugunung dan berpermaisuri dengan seorang puteri yang sangat dicintainya, tetapi permaisuri itu sebenarnya ialah ibunya sendiri, dan tiada diketahui keduanya. Rahasia itu akhirnya diketahui oleh permaisuri sebab melihat cacat Prabu Watugunung di kepalanya waktu sedang berkutu-kutuan, dan Prabu Watugunung menerangkan apa penyebabnya. Untuk menghindarkan kekejian itu Dewi Sinta meminta supaya Prabu Watugunung seorang bidadari untuk djadikan madunya. Prabu Watugunung meluluskan permintaan itu dan ia menuju ke Suralaya (kerajaan Dewa-Dewa) guna mencari bidadari untuk jadi permaisurinya itu. Maka terjadilah perang dan Prabu Watugunung binasa dalam peperangan itu. Memang inilah yang diharap oleh Dewi Sinta.

 BENTUK WAYANG

Prabu Watugunung bermata jaitan, hidung mancung. Bermahkota kerajaan, berjamang tiga susun dengan garuda membelakang, berpraba (pakaian serupa sayap), dikenakan pada bahu kanan dan kiri. Umumnya praba ini hanya untuk pakaian raja-raja dan kesatria. besar. Bergelang, berpontoh dan berkeroncong. Kain bentuk kerajaan.

K e t e r a n g a n

Watugunung juga nama seorang wuku, wuku itu berarti perhitungan hari bulan, pada tiap-tiap bagian menerangkan hal maksud hari kelahiran orang dengan ramalan penghidupan orang yang mempunyai waktu itu.
Dipandang sepintas lalu, hal ini sebagai ramalan takhyul, tetapi kalau ditilik benar-benar hal ini mengenai juga pada perhitungan waktu keadaan di bumi, misalnya hal hujan, tanda-tanda perhitungan masa yang cocok, bukanlah takhyul. Jalan perhitungan waktu berturut-turut, bersambung-sambung pada tiap-tiap hari Minggu.

Menurut riwayat wuku-wuku itu nama 30 orang. Pada tiap orang itu diambil oleh seorang Dewa dianggap sebagai puteranya. Tiap-tiap wuku diambil oleh seorang Dewa dianggap sebagai puteranya. Tiap-tiap, wuku berdewa sendiri, dan perhitungan wuku itu berganti pada tiap-tiap hari Minggu.
Adapun nama wuku itu: 1) Sinta, 2) Landep, 3) Wukir, 4) Kurantil, 5) Tolu, 6) Gumbreg, 7) Warigalit, 8) Warigagung, 9) Julungwangi, 10) Sungsang, 11) Galungan, 12) Kuningan, 13) Langkir, 14) Mandasiya, 15) Julungpujut, 16) Pahang, 17) Mrakeh, 18) Wugu, 19) Tambir, 20) Madangkungan, 21) Maktal, 22) Wuje, 23) Manahil, 24) Prangbakat, 25) Bala, 26) Wugu, 27) Wayang, 28) Kulawu, 29) Dukut, 30) Watugunung.

Dewa-dewa 30 wuku itu:1) Yamadipati, 2) Mahadewa, 3) Mahayekti, 4) Langsur, 5)Bayu, 6) Cakra, 7) Asmara, 8) Mahayekti, 9) Sambu. 10) Gana, 11) Kamajaya. 12) Indra, 13) Barawa = Kala, 14) Brama, 15) Guritna, 16) Tantra, 17) Wisnu, 18) Surenggana, 19) Siwah, 20) Basuki, 21) Sakri, 22) Kuwera, 23) Citragotra, 24) Resi Wara Bisma, 25) Betari Durga, 26) Singajalma, 27) Betari Sri, 28) Betara Sadana, 29) Sakri, 30) Sang Hyang Antaboga dan Dewi Nagagini.

Untuk mengingat nama satu-satu wuku itu ada hafalan dalam bahasa Jawa dengan lagu dandanggula, sebagai berikut.

Sinta Landep ,ukir Ian Kurantil, Tolu Guinbreg, Warigalit lawan, Warigagung. Julungwange (perubahan dari kata wangi), Sungsang Galunganipun, ku (wuku) Kuningan Langkir Mandasih (asal dari Mandasiya), Julungpujut myang Pahang, Mrakeh Wuku Tambur (asal dari kata Tambir), Madangkungan wuku Wujwa (asal dari Wuje), Manahil Prangbakat Bala Wugu Binggit (Wayang), Klawu (Kulawu) Dukut Selarga (Watugunung)..

Sedjarah Wayang Purwa, terbitan Balai Pustaka juga tahun 1965. Disusun oleh Pak Hardjowirogo.


1) Sinta Basundari,
 2) Landep,
3) Wukir,
4) Kurantil,
5) Tolu,
6) Gumbreg,
7) Warigalit,
8) Warigagung,
9) Julungwangi,
10) Sungsang,
11) Galungan,
12) Kuningan,
13) Langkir,
14) Mandasiya,
15) Julungpujut,
16) Pahang,
17) Mrakeh,
18) Wugu,
19) Tambir,
20) Madangkungan,
21) Maktal,
22) Wuje,
23) Manahil,
 24) Prangbakat,
25) Bala,
26) Wugu,
27) Wayang,
28) Kulawu,
29) Dukut,